BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Indonesia sebagai
negara hukum memiliki dilema tersendiri dengann disahkannya Undang-undang
Intelijen ini. undang-undang intelijen ini muncul sebagai wacana pada tahun
2003 dan mulai digodok oleh legislatif setelah pemerintah menyusun draft-nya
pada tahun 2005. Wacana ini muncul sebagai implikasi dari banyaknya kegiatan
terorisme di sekitar tahun 2001-2001 di Indonesia speerti Bom Bali I dan Bom
Bali II yang mau tidak mau mendesak kebutuhan akan payung hukum bagi eksistensi
dan peran institusi badan intelijen
untuk menindak lanjuti tidakan terorisme tersebut.
Akhirnya,
setelah terkatung-katung selama tujuh tahun dari wacananya, tahun 2010 RUU
Intelijen masuk sebagai salah satu agenda prolegnas (program legislasi nasional)
stelah diputuskan oleh balag (badan laegislatif) yang melalui banyak
pertimbangan substansial dan bahan pertimbangan lainnya adalah dengan tidak
selesai dan gagalnya undang-undang yang serupa mengenai RUU Kerahasiaan Negara,
RUU Peradilan Militer, RUU Komponen Cadangan, dan RUU Keamanan Nasional
yang dianggap tidak bisa memayungi dan melindungi kegiatan dari institusi
Intelijen Negara.
RUU
Intelijen pun diharapkan bisa menjadi pedoman tegas dan penjelas bagi
fungsi-fungsi dan kewenangan dan yang bukan kewenangan bagi intitusi ini dalam
bertugas, sedangkan RUU yang telah disebutkan tidak memuat itu semua, hanya
beberapa aturan mengenai penghukuman kepada pelaku teroris dan aksi lainnya
yang menggangu stabilitas nasional.
UU
Intelijen karena itu memuat dengan gamblang tugas dan kewenangan Badan
Intelijen Negara untuk menjaga stabilitas negara dari ancaman nasional.
Substansi yang dirumuskan mendapatkan banyak kritikan, masukan dan dukungan
dari banyak pihak. UU ini banyak memuat pasal-pasal yang dianggap akan
megkungkung demokrasi dan melanggar HAM seluruh warga Indonesia.
Kontroversi
pun terus berlanjut dari tahun 2005 saat Badan Pertahanan dan Pemerintah
bersama-sama menyusun draf RUU dan siap diserahkan ke Legislatif sampai masuk
tahun 2010, bahkan terus memanas sampai 11 Oktober 2011 disahkannya RUU ini
menjadi UU. Setelah disahkannya UU Intelijen, masyarakat luas terus melakukan
banyak aksi untuk menuntut agaar diadakannya perombakan pada materi
Undan-Undang ini, direncanakan masyarakat luas juga akan segera mengajukan uji
materi ke Mahkamah Konstitusi. Gerakan ini digawangai oleh banyak lembaga
masyarakat, dari bidang jurnalistik, HAM, sampai media massa yang ternyata
mengalami ketakutan tersendiri oleh materi didalam UU tersebut dalam
menjalankan tugasnya sebagai penyiar berita.
Karena
panjangnya proses penggodokkan RUU Intelijen yang sampai lebih dari tujuh
tahun, dan perumusannya diwarisi dari satu rezim pemerintahan ke rezim
pemerintahan lainnya, belum lagi begitu peliknya masalah yang termuat dalam
materi di UU tersebutlah yang membuat UU Intelijen menarik untuk dibahas, untuk
menjelaskan dari beberapa sisi seperti kepentingan, dan relevansinya atas
kebutuhan dan urgensinya terhadap kehidupan bermasyarakat saat ini.
B. Rumusan Masalah
a.
mengapa pembahasan RUU ini sampai berlarut-larut hingga memakan waktu kurang
lebih 9 tahun?
a.i:
apa tuntutan2 dan demands yang muncul
dan mempengaruhi proses dan formulasi kebijakan ini?
b. pro dan kontra: proyeksi dan
implementasi kebijakan UU di kehidupan
C. Hipotesis Kerja
Dalam
merumuskan permasalahan dan mengumpulkan data, hipotesa awal kami dalam
menyusun makalah ini adalah dalam perumusannya, apakah benar uu yang memakan
waktu lama dalam formulasinya, memiliki beberapa alasan seperti banyaknya pro
kontranya materi UU Intelijen yang berdobrakan dengan HAM dan kegiatan
demokrasi dalam menjaga negara dan masyarakat dari ancaman kebocoran rahasia
negara yang bisa mengganggu stabilitas bernegara?
Kewenangan-kewenangan
dan yang bukan kewenangan yang diatur dalam UU ini menjadi sedikit multitafsir
karena tidak membuat batasan yang jelas seperti dalam batasan ruang, waktu, hak
dan kewajibannya sehingga membuat jurang polemik perdebatan yang berlarut-larut.
Asumsi kami juga berawal dari pertanyaan, apakah yang mendasari pembentukan dan
seberapa perlukah UU ini disahkan? Apakah hanya sebatas intitusi intelijen ini
membutuhkan payung hukum yang jelas apakah intelijen hanya menginginkan
keleluasaan dan fasilitas-fasilitas atau kemudahan dalam bekerja dan melakukan
penindakan dan pengumpulan data? Dengan asumsi asumsi awal ini lah yang
kemudian akan menjadi titik tolak pengumpulan data dan analisis selanjutnya
yang asumsi-asumsi ini akan dibuktikan di akhir penulisan makalah dengan
argumen yang didukung oleh fakta-fakta mengenai UU Intelijen ini.
D. Kerangka Pemikiran
Masalah
ini membahas kesesuaian antara formulasi kebijakan publik dengan kebijakan
publik, dalam hal ini: Undang-undang intelijen yang didalamnya mengatur
kewenangan dan yang bukan kewenangan institusi Intelijen dalam menjawab
tuntutan/demands, dimana banyak pertentangan dalam materi kebijakan tersebut
yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat seperti HAM dan sisi demokrasi.
Kebijakan :1. adalah suatu tindakan-tindakan, tujuan-tujuan,
keputusan-keputusan pemerintah mengenai hal tertentu, langkah-langkah yang
diambil (atau kegagalan untuk mengambilnya) untuk mengimplementasikan dan
penjelasan mereka mengenai apa yang terjadi (atau tidak terjadi) (dari bahan
kuliah Politik Kebijakan Publik)
2. whatever government chooses to do or
do not do (Thomas. R. Dye)
Publik : orang banyak/umum (kbbi v1.1)
Formulasi: suatu kegiatan merumuskan
atau menyusun sesuatu (dalam hal ini kebijakan publik) dengan tepat
(kbbi v1.1)
Demands/tuntutan : sesuatu permintaan yang muncul sebagai
akibat dari partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan. Ada dua sebab yaitu
terabaikannya kepentingan suatu golongan dalam proses kebijakan dan munculnya
suatu kebutuhan baru. (bahan kuliah Politik Kebijakan Publik)
HAM :
Hak Asasi Manusia (hak yang bersifat asasi, hak yang dimiliki manusia menurut
kodratnya dan tidak dipisahkan dari hakikatnya atau melekat secara kodrati pada
setiap manusia (John Locke) (Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 212)
Undang-undang : ketentuan dan peraturan negara yang dibuat
oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb) disahkan oleh parlemen (Dewan
Perwkilan Rakyat, bdan legistatif, dsb) , ditandatangani oleh kepala negara
(presiden, kepala pemerintahan, raja), dan mempunyai kekuatan yang mengikat
(kbbi v1.1).
Demokrasi : secara harfiah adalah kekuasan yang berada ditangan rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Secara terminologi berasal dari bahasa Yunani demos dan cratos.
BAB
II
PEMBAHASAN
II.1 Kronologi
dan Penyebab perumusan UU Intelejen
Perumusan UU intelijen sudah
terasa urgensinya sejak tahun 2003, urgensinya terletak
pada bahwa badan intelijen
di Indonesia harus memiliki suatu payung hukum dalam menjalankan tugasnya.
Tanpa payung hukum yang jelas, pergerakan intelijen di Indonesia tidak akan
berjalan dengan sebagaimana mestinya karena resistensi masyarakat terhadap isu
intelijen ini sangat tinggi. Intelijen sendiri berperan penting dalam
memberikan feeding untuk keamanan
nasional, dalam mencegah kasus-kasus terorisme, dan memastikan negara dalam
keadaan yang kondusif. Perjalanan pengesahan UU intelijen menempati tempat yang
pelik, kurang lebih membutuhkan waktu sembilan tahun untuk akhirnya disahkan
menjadi UU intelijen pada tanggal 11 Oktober tahun 2011.
Secara kronologis,
pembentukan UU intelijen yang memakan waktu bertahun-tahun ini menarik untuk diketahui.
UU Intelijen Negara baru masuk kedalam prioritas program legislasi nasional
pada tahun 2010. Sejak wacana urgensi perumusan UU Intelijen Negara yang telah
dirasakan sejak tahun 2003 itu, hingga tahun 2007 DPR belum juga melakukan
usaha yang konkrit. Pada tahun 2005 draf RUU Intelijen Negara telah siap untuk
diserahkan ke DPR oleh Departemen Pertahanan namun kemudian timbul aksi-aksi
kritis dari masyarakat sipil, khususnya mengenai kekhawatiran akan potensi
melanggar Hak Asasi Manusia dan ancaman demokrasi. Agar mendapatkan gambaran yang jelas dan
lugas mengenai riak liku perjalanan UU Intelijen Negara, jika dirangkum
perjalanan UU Intelijen Negara dapat digambarkan seperti ini:
-
2003,
muncul wacana mengenai perumusan Undang-Undang Intelijen negara, karena UU no.
15 tahun 2003 tentang terorisme dirasakan oleh kalangan intelijen lebih sebagai kebutuhan
menghukum pelaku teror. Sedangkan yang dibutuhkan institusi intelijen adalah
lebih dari itu.
-
2005, menguatnya wacana mengenai UU
Intelijen Negara, hal ini salahsatunya diperkuat oleh kasus Bom Bali I dan II.
Seperti tercantum diatas pada tahun 2005 Departemen Pertahanan sebenarnya telah
siap diserahkan pada DPR, yang dalam hal ini merupakan ranah pembahasan Komisi
1 DPR. Namun kekritisan masyarakat sipil mengenainya menimbulkan panasnya
kontroversi, hingga akhir 2005 pengajuan dan pembahasan RUU ini belum juga
menunjukan langkah yang konkrit sampai muncul draf pembanding dari masyarakat
sipil itu sendiri untuk RUU intelijen ini.
-
2006 – 2007, tidak ada kemajuan yang
konkrit mengenai pembahasan RUU Intelijen Negara. Draf pembanding yang telah
diajukan masyarakat itu sebenarnya telah memunculkan kesepakatan untuk kemudian
dibahas pada program legislasi nasional (prolegnas) di tahun 2006, namun
kesepakatan ini ternyata tidak ditindak lanjuti. Baru kemudian muncul usulan rencana
pembahasannya pada prolegnas tahun 2008.
-
2008 – 2009, wacana yang sebelumnya
menguat mengenai pembahasan RUU Intelijen Negara sudah tidak sepanas
tahun-tahun sebelumnya. Kemajuan pembahasan seperti jalan ditempat, perdebatan
RUU Intelijen ini seputar kekhawatiran adanya ancaman pada demokrasi dan HAM,
khususnya pada pasal mengenai penyadapan dan penahanan.
-
2010, meskipun telah beberapa menjadi
prioritas dalam program legislasi nasional (prolegnas), baru pada tahun inilah
badan legislasi (Baleg) DPR memutuskan memasukkan RUU ini di dalam prolegnas
pada bulan November.
-
2011, RUU yang terdiri dari 10 BAB
dan 46 pasal ini akhirnya pada tanggal 11 Oktober disahkan menjadi UU Intelijen
Negara.
Setelah mendapat gambaran
kronologis, kemudian timbul pertanyaan mengenai hal yang sifatnya lebih
substansial. Beberapa
pasal yang bahkan hingga kini masih menjadi
kontroversi, dan hal ini diakui oleh DPR adalah terkait dengan kewenangan
penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi secara mendalam
yang menjadi kewenangan intelijen. Selain itu juga ada pasal yang terkait
dengan pembocoran rahasia negara, yang dipandang dapat menghalangi tugas-tugas
jurnalistik. Sebenarnya
apakah yang menjadi kontroversi masyarakat sipil terkait UU Intelijen Negara
ini?
Tiga fungsi yang diatur oleh
RUU ini ialah bahwa Intelijen Negara menyelenggarakan fungsi penyelidikan,
pengamanan, dan penggalangan. Fungsi
pertama yakni penyelidikan ini menjadi salah
satu fungsi yang paling
mengundang kontroversi. Fungsi penyelidikan terdiri atas serangkaian upaya,
pekerjaan, dan kegiatan yang dilakukan secara terencana, terarah untuk mencari,
menemukan, mengumpulkan, dan mengolah informasi menjadi informasi Intelijen,
serta menyajikan sebagai bahan masukan untuk perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan. Jika diambil intisari dari perdebatan-perdebatan yang ada, terdapat dua pendapat besar terkait kontroversi dari fungsi Intelijen
Negara terkait penyadapan ini. Pendapat yang satu bertumpu pada izin
pengadilan, bahwa Intelijen Negara tidak masalah jika memang memiliki
kewenangan melakukan penyadapan asal atas seizin pengadilan dan sistematikanya
diatur secara khusus didalam RUU Intelijen negara. Pendapat yang lain
menyatakan bahwa hukum di Indonesia menyatakan masalah tersebut adalah wewenang penyidik
yudisial, tidak bisa diberikan kepada lembaga atau badan yang bukan penegak
hukum. Sehingga malah ketika fungsi ini dilakukan oleh badan non-yudisial,
dapat menjadi tindakan kriminal. Perumusan pasal terkait hal ini memang cukup
kompleks karena ada sisi yang bertujuan untuk memperkuat aparat intelijen
secara terpadu namun sisi lain resiko pelanggaran hukum dan HAM nya adalah
sangat tinggi.
Perdebatan yang menemani perjalanan RUU Intelijen
Negara selama bertahun-tahun dapat dirangkum dalam Daftar Inventaris Masalah
(DIM) yang diajukan Pemerintah untuk menjadi sandingan dalam pembahasan RUU
ini, DIM RUU tentang Intelijen Negara secara keseluruhan berjumlah 247 DIM
dengan karakteristik dan perincian DIM, yaitu 58 DIM bersifat tetap, 39 DIM
bersifat redaksional, 30 DIM bersifat substansi, 50 DIM bersifat substansi
baru, dan 70 DIM bersifat dipertimbangkan dihapus. Menyikapi hal ini pembahas RUU Intelijen Negara membagi pembahasan
masalah dalam beberapa kluster, terdiri atas kluster penyadapan, kluster
pemeriksaan intensif, kluster kelembagaan, kluster kode etik, kluster ancaman,
kluster pengawasan, dan kluster masa retensi.
Kluster
penyadapan telah menjadi sebagian besar pembahasan kontroversi RUU Intelijen
Negara, kemudian menjadi satu paket pembahasan dengan kluster pemeriksaan
intensif. Seputar apakah aparat intelijen berhak untuk melakukan penyadapan dan
pemeriksaan dimana intelijen negara merupakan badan non-yudisial. Kluster
kelembagaan memiliki bahasan tersendiri, yang menjadi nafas optimis perumus RUU
Intelijen Negara ini adalah bahwa lembaga Intelijen hendaknya menjadi alat
negara, bukan alat kekuasaan apalagi disusupi oleh kepentingan politik. Banyak kasus operasi intelijen ataupun operasi kontra
intelijen dari masa lalu dan masa reformasi yang melanggar HAM. Celakanya, dari
situ korban justru banyak berasal dari lawan-lawan politik, bukan musuh negara. Kluster kode etik, ancaman, dan pengawasan ialah kluster-kluster yang
kemudian berhenti kontroversialnya setelah disahkannya UU Intelijen Negara ini,
karena walau bagaimanapun tidak ada suatu undang-undang yang benar-benar
sempurna. Kluster retensi akhirnya mendapatkan hasil bahwa kerahasiaan Informasi
Intelijen ditentukan oleh Masa Retensi Informasi Intelijen. Masa Retensi
Informasi Intelijen berlaku selama 20 tahun.
Masa
Retensi Informasi Intelijen dapat diperpanjang setelah mendapat persetujuan
dari DPR RI.
Setelah
melewati lika liku perumusan RUU, Intelijen Negara akhirnya
memiliki payung hukum juga. Ancaman-ancaman yang ada dalam ranah nasional
maupun internasional, satu dimensi maupun multidimensional diharapkan dapat
dicegah. Untuk
mencegah ancaman-ancaman tersebut menjadi nyata, maka negara ini membutuhkan
intelijen negara yang tangguh, profesional, dan proporsional. Itu semua harus
disertai penguatan kerjasama koordinasi intelijen, demi menjaga tegaknya hukum,
nilai-nilai, prinsip demokrasi, dan penghormatan terhadap hak azasi manusia. Pada tanggal 11 Oktober 2011, RUU Intelijen Negara yang terdiri dari 10
BAB dan 46 Pasal ini resmi disahkan menjadi UU Intelijen Negara.
II.2
Pro Kontra Masyarakat Sipil
Sejak
awal perumusan, RUU Intelejen menimbulkan banyak pro kontra dari kalangan
masyarakat. Hal ini dikarenakan urgensi pembentukan UU Intelejen masih
dipertanyakan oleh sebagian besar masyarakat. Masyarakat menganggap dengan
adanya UU Intelejen, kebebasan mereka tidak terjamin.
UU
Intelejen dirasa merupakan salah satu bentuk penolakan akan demokrasi dan
pengembalian negara ke jaman otoriter seperti pada masa jaman orde baru.
Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Rozi Saferi, Ketua DPD HTI Sumbar dalam seminar nasional yang diadakan BEM Universitas
Andalas. Beliau mengatakan UU Intelejen
dapat berpotensi untuk menjadi pasal karet ( pasal yang pernyataannya kabur dan
multi tafsir ) dan dapat melahirkan rezim represif yang memberikan hak penuh
terhadap penguasa terhadap negara dan warga negara.
Namun,
Undang – Undang tentang Intelejen
sebenarnya sangat dibutuhkan dan harus ada. Karena dengan adanya undang –
undang tersebut, Badan Intelejen Negara tidak akan bisa bertindak sewenang –
wenang terhadap warga negara. Hal ini didukung oleh Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas yang menyatakan bahwa beliau
mendukung penuh RUU Intelejen selama adanya transparasi dalam perumusan RUU
tersebut.
Masyarakat
pun setuju akan hal tersebut. Hal yang masih dipertentangkan masyarakat adalah
substansi dari Rancangan Undang – undang Intelejen. Apakah rancangan UU
tersebut sudah dapat ditafsirkan secara jelas? Apakah rancangan UU tersebut
sudah mewakili apa yang dibutuhkan masyarakat demi menciptakan kedamaian
negara? Tentu bila kita melihat dalam paragraf sebelumnya, pertanyaan –
pertanyaan itu dapat kita ketahui secara jelas jawabannya yaitu TIDAK!
Draft
RUU intelejen masih multitafsir dan belum jelas secara rinci. Misalnya pada
pasal 31 yang membicarakan masalah kewenangan intelejen. Bagaimana kita bisa
melindungi hak – hak privasi warga negara bila Badan Intelejen Negara mempunyai
keleluasaan untuk menyadap tiap individu warga negara tanpa adanya aturan yang
ketat dan legalisasi surat perintah dan surat kuasa yang dikeluarkan oleh
lembaga peradilan.
Selain
itu, direktur eksekutif imparsial
poengky indiarti menerangkan dalam artikel yang dimuat dalam inilah.com bahwa
pemberian kewenangan pada intelijen untuk melakukan “penggalian informasi”
bekerja sama dengan aparat hukum sebagai ganti dari istilah “interogasi” akan
merusak “Criminal Justice System” karena hal tersebut telah melanggar KUHAP dan
HAM.
Belum
adanya kejelasan mengenai sistem pemulihan dan komplain merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan masyarakat menentang disahkannya RUU Intelejen ini.
Dikhawatirkan Badan Intelejen menggunakan kekuasaannya sewenang dan hak – hak
privasi warga negara lah yang menjadi korbannya. Belum adanya kejelasan mengenai
sistem komplain yang masyarakat dapat ajukan bila Badan Intelejen melanggar hak
– hak privasi warga negara. Ketidakjelasan sistem itulah yang membuat banyaknya
kontra yang terjadi. Masyarakat menuntut adanya kejelasan sistem komplain
terlebih dahulu sebelum mensahkan RUU Intelejen tersebut.
II.3
Analisis Perbandingan RUU Intelejen dengan UU Intelejen yang telah disahkan
Persoalan
konteks substansi dalam RUU Intelijen telah ada sejak rancangan tersebut
diajukan secara resmi ke DPR-RI September 2003.
Sebelum disahkannya undang-undang tersebut, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dan lembaga kajian melontarkan kritik terhadap RUU Intelijen−seperti
KontraS, Koalisi Advokasi Untuk RUU Intelijen Negara, Setara Institute dan
PACIVIS. Pada umumnya, sejumlah pihak tersebut menganalisis kemungkinan adanya
multitafsir pasal-pasal yang belum memuat ketentuan yang jelas, seperti
ketentuan wewenang khusus Lembaga Koordinasi Intelijen, asas-asas dan paradigma
yang dianut dalam RUU Intelijen−sebagai implikasinya adalah pembatasan hak
yang pada dasarnya tidak dapat dibatasi
(non-derogable rights.)
Memasuki
tahun ke-11 reformasi, RUU Intelijen akhirnya disahkan oleh DPR pada 11 Oktober
2011 silam. Namun ternyata undang-undang yang telah disahkan masih menimbulkan
polemik terkait substansinya yang masih terdapat pasal karet. Meski demikian,
pada perkembangannya RUU Intelijen telah mengalami beberapa penambahan
substansi. Hal
tersebut kemudian menjadi dasar argumen bagi sejumlah organisasi massa untuk
mengajukan gugatan materi ke Mahkamah Konstitusi. Beberapa persoalan pasal yang
masih rancu akan dibahas pada bab ini.
Persoalan
mendasar mengenai UU Tentang Intelijen terletak pada paradigma yang dianut di
dalam undang-undang. Secara spesifik tercantum pada bagian Penjelasan Bab I
Umum paragrap kedua, pada intinya menjelaskan tentang pembatasan hak untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan atas hak
kebebasan orang lain yang merujuk pada pasal 28J UUD 1945. Yang menjadi
persoalan adalah tidak dicantumkannya eksepsi mengenai non-derogable rights atau
hak-hak yang tidak dapat dibatasi dalam kondisi apapun.
Hal tersebut justru dengan jelas mengesampingkan pasal 28I UUD 1945 yang
tercantum pada konsideran Mengingat.
Baik
pada rancangan undang-undang maupun undang-undang yang telah disahkan nampak
belum ada penjelasan lebih lanjut mengenai eksepsi non-derogable rights. Dengan
tidak adanya eksepsi tersebut, UU Intelijen yang telah disahkan dengan jelas
memperlihatkan adanya semangat untuk membatasi hak-hak asasi manusia tanpa
terkecuali. Hal tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan poin c
konsideran Menimbang dalam undang-undang itu sendiri.
Selain itu juga dapat menjadi potensi terbukanya ruang bagi pelanggaran hak
asasi manusia.
Meski
demikian, hal yang perlu diapresiasi adalah diakuinya kebutuhan intelijen yang
tangguh dan profesional.
Profesionalitas anggota intelijen menjadi penting agar tidak terulangnya kasus
pembuatan uang palsu dan cukai rokok palsu oleh beberapa pejabat dan anggota
BIN (Badan Intelijen Negara) yang memanfaatkan kewenangan BIN dalam mencetak
uang palsu dan cukai rokok palsu untuk mengetahui pelaku pencetak uang palsu
dan melacak peredarannya dan juga kasus di mana ketua BIN di daftarkan menjadi
salah satu juru kampanye Calon Presiden Megawati
Soekarnoputri oleh PDIP
ke KPU. Dengan
adanya asas profesionalitas diharapkan pejabat maupun anggota intelijen
profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan hakikat asas
yang dianutnya.
Perubahan
definisi intelijen negara pada undang-undang yang telah disahkan setidaknya
telah sesuai dengan harapan banyak pihak. Pada rancangan undang-undang,
definisi tentang intelijen negara menunjukkan status kelembagaannya sebagai
lembaga pemerintah.
Bila kemudian definisi tersebut yang akhirnya ditetapkan, maka besar
kemungkinan bagi terjadinya ruang penyalahgunaan intelijen sebagai alat politik
pemerintah dalam mempertahankan status
quo. Definisi intelijen negara yang masih rancu pada rancangan
undang-undang tersebut dapat mengulang kasus di era Orde Baru di mana intelijen
justru di manfaatkan pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya dan merepresi
pihak penentang pemerintah. Kemudian, terjadi perubahan definisi intelijen
negara ketika Undang-Undang Intelijen ditetapkan yang menyebutkan bahwa
intelijen negara adalah “penyelenggara
intelijen yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang
memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan Intelijen Negara”.
Meski demikian, belum disebut dengan jelas apakah kedudukan intelijen negara
adalah sebagai lembaga pemerintah atau sebagai lembaga negara. Sejatinya
keberadaan intelijen negara adalah
sebagai lembaga negara untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan nasional.
Masih
merujuk pada pasal 1 Undang-Undang Tentang Intelijen, secara garis besar
penjabaran dan penjelasan mengenai ketentuan umum belum menjelaskan kriteria
atau kategori yang spesifik. Sebagai contoh, penjelasan mengenai pengamanan
yang tertulis dalam undang-undang merupakan “serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terencana dan terarah untuk
mencegah dan/atau melawan upaya, pekerjaan, kegiatan intelijen dan/atau Piihak
Lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional”. Kerancuan hal
tersebut terletak pada frasa “serangkaian kegiatan”, di mana tidak ada
penjelasan seperti apa serangkaian kegiatan tersebut dan juga batasan
pengamanan itu sendiri. Hal itu dapat berpotensi tidak adanya jaminan waktu
tertentu terkait batasan pengamanan terhadap seseoramg atau pihak yang
dicurigai dan juga potensi pelanggaran HAM.
Dalam
konteks yang sama, terkait dengan penjelasan mengenai “Ancaman” yang
didefinisikan terlalu luas.
Bila merujuk pada Daftar Inventarisasi Masalah usulan Koalisi Advokasi Untuk
RUU Intelijen Negara,
seharusnya penjelasan mengenai “Ancaman” merujuk pada UU Keamanan Nasional−yang
pada saat ini belum ada. Koalisi, dalam DIM usulan tersebut, mengusulkan dihapuskannya penjelasan mengenai “Ancaman”
karena penjelasannya terlalu luas dan di satu sisi memerlukan UU Keamanan
Nasional sebagai acuan sebelum pembahasan UU Tentang Intelijen.
Hal
yang sedikit melegakan adalah−terkait persoalan kriteria pada penjelasan
Ketentuan Umum−adanya ketentuan mengenai kategorisasi Rahasia Intelijen pada
undang-undang yang di sahkan pada pasal 25 ayat 2. Pada rancangan undang-undang
sebelumnya, belum dijelaskan lebih lanjut mengenai kategori Rahasia Negara.
Hal tersebut yang kemudian dikritik mengancam kebebasan pers pada khususnya.
Meskipun telah ada beberapa ketentuan mengenai apa saja yang menjadi Rahasia
Negara, pada sisi redaksional masih belum spesifik dijelaskan. Penjelasan yang
spesifik menjadi hal penting sebab, menurut penulis, berkaitan dengan resiko
ancaman pidana apabila dianggap membocorkan rahasia intelijen yang berarti juga
membocorkan rahasia negara.
Terdapat
dualisme fungsi antara lembaga penegak hukum dan intelijen negara terkait
fungsi penyelidikan dan pengamanan bila menilik dari segi redaksional
undang-undang. PACIVIS dalam “Panduan Perancangan Undang-Undang Intelijen
Negara” menuliskan bahwa dengan memiliki wewenang penangkapan, maka lembaga
intelijen tidak hanya mendukung, tetapi ikut melakukan fungsi penegakan hukum.
Sedangkan menurut Koalisi Advokasi Untuk RUU Intelijen Negara, kewenangan
tersebut tidak layak dimiliki oleh intelijen negara sebab merupakan ranah
lembaga penegak hukum.
Hal tersebut menurut penulis kembali merujuk pada hakikat tugas dan wewenang
intelijen negara yaitu mengumpulkan informasi, menganalisa, memberikan
rekomendasi dan merumuskan langkah apa yang perlu diambil oleh pemerintah
sebagai modal menghadapi suatu ancaman yang tengah disorot.
Hal
yang belum diatur dalam UU Tentang Intelijen mengenai pengawasan intelijen
negara adalah adanya adanya pengawasan eksternal atas intelijen negara.
Idealnya dalam negara demokrasi, masyarakat sipil diberikan payung hukum dalam
mengawasi jalannya intelijen negara sehingga tidak menyimpang dari hakikat
keberadaannya. Hal ini dapat melalui dicantumkannya ayat tambahan pada pasal 43
yang menegaskan peranan masyarakat sipil dalam mengawasi intelijen negara.
Meskipun terdapat aturan mengenai pembentukan tim khusus di parlemen khususnya
pada Komisi I yang meliputi urusan
intelijen, hal tersebut belum cukup bila tidak melibatkan partisipasi langsung
masyarakat sipil. Pengawasan yang dilakukan langsung oleh masyarakat sipil
dapat menjaga independensi intelijen
negara itu sendiri.
Terakhir,
perlu sekiranya mengapresiasi langkah yang menghargai HAM dengan adanya
ketentuan mengenai rehabilitasi, kompensasi dan restitusi bagi setiap orang
yang dirugikan akibat dari pelaksanaan fungsi intelijen.
Ketentuan ini setidaknya dapat menjadi langkah pencegahan kesewenang-wenangan
intelijen negara dalam melaksanakan fungsinya dan memberikan perlindungan
terhadap warga negara. Namun, hal ini tidak akan berarti banyak apabila masih
terdapat pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan multitafsir dan belum secara
spesifik dijelaskan, sebab dalam suatu undang-undang, setiap pasal yang
terkandung saling terkoneksi satu sama lain.
BAB
III
PENUTUP
UU mengenai intelijen
dirasakan urgensinya sejak awal tahun 2002. Melihat sejarah Indonesia pada
jaman orde baru dimana banyaknya kasus – kasus intelejen yang bertindak
sewenang – wenang dan melanggar HAM. Karena itu, badan intelijen di Indonesia harus memiliki suatu
payung hukum dalam menjalankan tugasnya. Tanpa payung hukum yang jelas,
pergerakan intelijen di Indonesia tidak akan berjalan dengan sebagaimana
mestinya karena resistensi masyarakat terhadap isu intelijen ini sangat tinggi.
Perumusan RUU Intelijen memakan waktu yang
cukup lama, dari sejak munculnya pemikiran untuk membuat RUU Intelejen pada
tahun 2002 sampai 11 Oktober 2011 dimana RUU ini baru saja disahkan menjadi UU.
Proses perumusan RUU ini tergolong cukup lama.
Hal ini dikarenakan dalam proses berjalannya, banyak sekali pro dan
kontra yang terjadi mengenai substansi RUU Intelijen itu sendiri. Draft RUU
yang masih multitafsir dan belum mempunyai kejelasan mengalami banyak kecaman
dari masyarakat. Ketidakjelasan ini membuat masyarakat merasa bahwa RUU
intelijen ini bukannya menjadi payung hukum untuk menghindarkan masyarakat dari
pelanggaran HAM, malah memberikan Badan Intelijen otoritas yang dapat megganggu
hak – hak privat warga negara.
Selain itu, hal yang
dikhawatirkan dari RUU intelijen yaitu belum diaturnya pengawasan intelijen
negara dalam UU Intelijen, belum adanya pengawasan eksternal atas intelijen
negara. Idealnya dalam negara demokrasi, masyarakat sipil diberikan payung
hukum dalam mengawasi jalannya intelijen negara sehingga badan intelijen tidak
menyimpang dari hakikat keberadaannya.
Belum adanya kejelasan
mengenai sistem pemulihan dan komplain warga negara bila terjadi penyalahgunaan
wewenang badan intelijen merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
masyarakat menentang disahkannya RUU Intelejen ini. Dikhawatirkan Badan
Intelejen menggunakan kekuasaannya sewenang dan hak – hak privasi warga negara
lah yang menjadi korbannya.
Sebaiknya, UU Intelijen
ini direvisi dari segi redaksi agar tidak terjadi keambiguan dan multitafsir
arti pasal. Selain itu, adanya transparasi perumusan UU intelijen kepada
masyarakat merupakan salah satu cara agar UU Intelijen yang ditetapkan dapat
diaplikasi dengan baik. Disamping itu, UU intelijen juga seharusnya diajukan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian materi. Dengan cara –
cara tersebut diharapkan UU Intelijen
dapat diaplikasikan dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Daftar
Pustaka