Rabu, 07 November 2012

Political Structure and Political Recruitment by Gabriel Almond and Bingham Powell


Perbandingan Politik
Critical Review I: Political Structure and Political Recruitment by Gabriel Almond and Bingham Powell
Yasinta Sonia Ariesti (1006762612)
Pemilu adalah hal terpenting dalam sebuah tatanan demokrasi, bertujuan untuk perekrutan para pemimpin politik. Nyatanya, pemilu bisa sangat berbeda dengan apa yang diharapkan dalam sistem politik, tergantung pada partisipasi dari masyarakatnya. Pilihan masyarakat dunia demokrasi modern ini, memiliki pengaruh besar pada pos-pos pemerintahan. Masyarakat juga mempengaruhi agregasi kepentingan dan pembuatan kebijakan dalam proses perekrutan ini.
Demokrasi, dimana pemerintahan dipegang oleh masyarakat, di beberapa negara memungkinkan untuk terjadinya share secara langsung dalam perdebatan, pemutusan, dan implementasi kebijakan publik.  Di negara lain yang demokrasinya tidak langsung dapat dikatakan demokrasi yang tidak ideal. Tapi, sejauh dengan partisipasi masyarakat dapat terlibat dan bertambah, dan semakin berpengaruhnya pilihan masyarakat, semakin demokrasilah negara tersebut.
Kompetisi pemilu dalam sistem demokrasi, memberikan masyarakat peluang untuk menentukan proses pembuatan keputusan dengan kesetujuannya atau penolakannya terhadap para pembuat kebijakan-kebijakan utama. Dalam sistem otoritarian, pembuat kepurusan dilakukan oleh dewan miiter, keluarga keturunan, partai politik yang mendominasi, dan lainnya. Dua perbedaan yang mencolok ini menimbulkan pertanyaan lain, apakah dalam mayarakat modern memungkinkan masyarakat diberikan tanggung jawab untuk mengontrol pemerintah dan menjalankan fungsi-fungsi masyarakat demokratis lainnya? Kultur politik ini tidak akan mudah dibangun disembarang tempat dan waktu. Masyarakat harus memiliki pendidikan yang mumpuni, dan pengetahuan yang menunjang dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik.
Pernyataan ini menjadi penting karena mau tidak mau, masyarakat sebagai partisipan akan berperan penting dalam mempertahankan suatu rezim pemerintahan. Maka dari itu masyarakat perlu disorot lebih lanjut. Sistem demokrasi tidak bisa melulu mengedepankan kebebasan dan partisipasi. Tapi harus dibarengi dengan kemajuan ekonomi agar masyarakat tetap stabil dan bisa menjalankan fungsi-fungsi kedemokrasiannya. Jika masyarakat dalam sistem demokrasi tidak memiliki akuntabiltas yang cukup, dimana masyarakat miskin dan tidak berpendidikan, maka masyarakat itu akan menghasilkan suatu pemerintahan yang individu-individunya tidak cakap dalam  bidangnya. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak bisa memilih dengan baik siapa-siapa yang akan memerintah kelak dan membuat kebijakan-kebijakan publik.
Demokrasi seperti ini banyak terjadi pada negara yang mengalami gelombang demokrasi ketiga (The Third Wave of Democracies). Negara-negara ini baru menjalankan sistem demokrasi dari 1975 sampai akhir 1990an, seperti Indonesia. Negara-negara ini tidak dapat bertahan atau masih meraba-raba bentuk demokrasinya karena negara dengan sistem autokrasi sudah mulai menaklukan negara-negara demokrasi di dua puluh tahun kemudian.
Partisipasi masyarakat lainnya adalah, masyarakat dapat memberikan tuntutan dalam sirkulasi kepentingan yang terjadi. Mereka juga dapat masuk dalam kelompok-kelompok kepentingan, baik formal atau tidak yang banyak terbentuk. Kelompok ini juga kemungkinan terjadi dalam sistem autokrasi yang nantinya akan berperan dalam pengumpulan petisi, atau dengan menjadi kelompok oposisi dan kelompok masyarakat lain dengan isu khusus seperti gender, isu pekerja/buruh, dan lainnya. Hal ini dikatakan sebagai interest aggregation.
Pada nyatanya, masyarakat tidak semudah itu masuk untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Yang paling nyata partisipasinya adalah dengan diadakannya referendum. Tapi referendum sangat sulit dan tidak biasa untuk diadakan sekalipun di negara demokrasi. Partisipasi masyarakat juga dilihat dalam kegiatan political protest/peaceful protest atau biasa dikenal dengan demo/aksi. Dalam tabel, dapat dilihat jika semakin tingginya protes ini berlangsung maka semakin tinggi juga partisipasi masyarakatnya. Penafsiran lainnya: semakin sering protes ini  terjadi maka semakin tidak stabilnya rezim pemerintahannya. Hal ini diasumsikan karena jika pemerintahan yang baik-baik saja/stabil tidak akan melulu diptotes dan mendapat tuntutan dari masyarakat. Tapi hal ini juga tidak bisa dijadikan patokan partisipasi masyarakat, karena biasanya yang menjalankan protes ini adalah kalangan muda. Kalangan tua tidak tertarik untuk protes, seperti di Prancis.
Participant democracy, dimungkinkan terjadi pada bangsa modern dengan masalah-masalah dan kondisi kontemporernya. Meledaknya partisipasi yang terjadi pun tidak begitu baik untuk demokrasi, maka solusinya adalah decision yang ada dibawa ke tingkatan yang lebih rendah ke kelompok-kelompok kecil masyarakat. Jadi masyarakat akan lebih mengerti akan permasalahan, karena jika decision tersebut masih dilevel atas, masyarakat banyak akan  beramai-ramai ikut memutuskan tanpa paham permasalahannya.
Participant democracy yang ideal menurut Dahl, adalah diikuti dengan jumlah masyarakat yang dibatasi dengan kepentingan, preferensi yang berbeda, keperluan yang berbeda untuk berkompetisi. Dahl juga menekankan harus adanya konfrontasi sisi ekonomi.
Rekrutmen dalam sistem politik membuat beberapa syarat untuk maju dalam pemilihan, dengan beberapa kualifikasi yang sesuai. Tapi, biasanya hal ini tidak dapat disentuh oleh masyarakat menengah kebawah yang tidak memiliki latar belakang pendidikan. Kebingungan ini memang banyak terjadi pada demokrasi dengan kemampuan masyarakatnya yang masih belum merata.. Dikatakan dalam teks, jika ingin membangun sebuah negara industri, mereka akan melatih masyarakatnya sebagai teknisi atau dengan spesialisasi lain yang menunjang. Dan kemampuan yang lain diberikan pada masyarakat lain yang berminat pada bidang pemerintahan. Jadi, saat rekrutmen masyarakat memiliki pengetahuan yang beragam dengan kualitas yang baik untuk menjalankan pemerintahan saat menjadi elit.
Kontrol terhadap para elit diperlukan karena sangat krusial bagi sistem politik. Rekrutmen elit, menjadi hal yang esensial dengan regulasinya. Dalam autoritarian modern, loyalitas dari para elit ternyata dapat dipupuk melalui sosialisasi. Sosialisasi ini berhasil menjaring para aktivis lokal dan membatasi regulasi arus informasi. Sistem demokrasi pun menggunakan seleksi dan regulasi untuk mengontrol performa dari para elit. Dalam banyak parlementer sistem, perdana mentri dan kabinet bisa digantikan dengan tanpa adanya pemilu nasional lagi jika mereka tidak menjalankan posisinya dengan baik. Hal ini akan menjadi sulit jika kandidat terpilih ini tidak berkompeten atau yang hanya sekedar beruntung.
Jadi, masyarakat sebagai elemen terpenting dalam demokrasi haruslah memiliki kapabilitas yang sama dengan para elit. Masyarakat harus diberikan pendidikan dan situasi ekonomi yang stabil melihat begitu gentingnya peran dari partisipasi masyarakat suatu negara untuk kelangsungan negara berdemokrasi, seperti India dengan demokrasinya yang kuat, mereka tengah mempersiapkan suatu tatanan ekonomi yang dapat mengimbangi pesta demokrasi disana. Stabilitas ekonomi dan kegiatan sosial politik memang nyatanya haruslah sejajar dalam berdemokrasi.

MIP- Pendekatan Pasca Tingkah Laku


Metodologi Ilmu Politik
Latar Belakang Munculnya Pendekatan Pasca Tingkah Laku
Oleh: Yasinta Sonia Ariesti (1006762612), Anisa Nurul Amanah (1006772020), Anindhita Luky Lestuhayu (1006772014)

a.      Pendahuluan
Pendekatan pasca tingkah laku adalah sebuah pendekatan yang memiliki dua tuntutan utama yaitu relevansi dan tindakan, berbeda dengan pendekatan sebelumnya yaitu pendekatan tingkah laku yang tuntutan utamanya adalah akan adanya dikotomi antar nilai dan fakta yang menekankan untuk mendahulukan kerja keras dan pengalaman, baru kemudian masalah relevansi. Perbedaan yang mendasar ini tentunya telah memacu ilmuwan ilmu politik tingkah laku dan kalangan lainnya untuk membenahi pendekatan ini agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dan lingkungan sekitar pada saat itu ternyata bukanlah menjadi tuntutan utama yang mana terjadi krisis dalam kehidupan seperti krisis sosial, ekonomi, dan politik. Para ilmuwan menghasilkan banyak teori yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan apa yang terjadi. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan dari ilmuwan untuk memajukan ilmu politik dengan menghasilkan teori dan memajukan metode kuantifikasinya dengan tujuan yang ilmiah.
Relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan orientasinya pada teknik (kuantifikasi) inilah yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan pasca tingkah laku. Asumsi masyarakat yang muncul adalah seharusnya produk dari pendekatan ini seperti teori dan metode mampu untuk mengadvokasi masyarakat. Perang Vietnam yang terjadi pada saat itu memunculkan pertanyaan dari banyak ilmuwan pendekatan tingkah laku. Ternyata, kuantifikasi tidak selalu menjadi solusi meski didukung dengan data dan indikator. Kuantifikasi tidak bisa mengukur hal-hal lain yang tidak bewujud dalam angka seperti faktor ideologi dan semangat yang menjadi intisari dari perang Vietnam. Ilmuwan tidak bisa mengukur dua hal tersebut meski sudah memperhitungkan dengan matang faktor lain seperti jumlah peluru, jumlah personil perang, dan lainnya.

b. Rumusan Masalah
Pendahuluan yang telah dijelaskan memberikan batasan pada makalah ini untuk menjawab permasalahan “Apakah faktor determinan yang melatarbelakangi munculnya pendekatan pasca tingkah laku?”
c.       Pembahasan
Latar Belakang Munculnya Pendekatan Pasca Tingkah Laku
Sebelum membahas tentang pendekatan pasca tingkah laku, dalam makalah ini pertama – pertama akan menjelaskan sedikit tentang pendekatan tingkah laku . awalanya pendekatan tingkah laku muncul dan berkembang di Amerika pasca perang dunia kedua dan pokok pemikiran dari pendekatan ini adalah lembaga formal bukan sesuatu yang perlu dibahas karena hal tersebut tidak memberikan informasi mengenai proses politik tapi lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku manusia karena merupakan gejala yang dapat diamati.[1] Salah satu pelopor dari pendekatan ini adalah Gabriel almond . disisi lain terdapat juga  kritik dari berbagai pihak terhadap pendekatan ini . contohnya adalah pedekatan tradisional yang masih mempertahankan hal – hal yang lama dimana pendekatan tersebut sangat kontadiktif dengan pendekatan tingkah laku sendiri yang cenderung melihat kedepan atau future oriented dan terdapat beberapa perbedaan lain diantara kedua pendekatan teersebut, selain dari pendekatan tersebut muncul pula reaksi dari sebuah gerakan yang dinamakan revolusi pasca perilaku gerakan ini muncul di amerika pada pertengahan decade enam puluahan dan mencapai puncaknya pada saat perang Vietnam dan Amerika. Kecamaan ini muncul karena pendekatan perilaku memiliki banyak masalah salah satunya adanya diskriminasi ras dan hal tersebut tidak diselesaikan oleh para penganut pendekatan perilaku. Menurut penganut pasca perilaku, para penganut perilaku telah gagal dalam menyelesaikan masalah yang timbul dari perang Vietnam tersebut oleh karena itu gerakan pasca perilaku ini mencanangkan perlunya sebuah relevansi dan tindakan.
Bibit terjadinya perang tersebut awalnya karena para ilmuwan, kaum militer, dan para politisi di  Amerika tidak mengetahui keberadaan Vietnam mereka sama sekali dan tidak mengenal negara tersebut. Masyarakat Amerika juga menganggap bahwa Vietnam adalah negara yang mudah untuk dipermainkan. Hal ini disebabkan oleh penjajahan sebelumnya yaitu oleh Prancis yang terttutup dan sikap tidak peduli terhadap Asia dan sejarah membuat Amerika tidak menyadari bahwa Vietnam termasuk negara tua dengan sejarahnya sendiri. Vietnam awalnya memang dikuasai oleh China baik itu sejarah, kondisi fisik, tanah , dan kultur bangsanya. Vietnam yang mendapat kemerdekaan cukup lama membuat seringnya terjadi persaingan internal dan perbutan dominasi oleh para tokohnya sendiri, konflik internal ini yang kembali membuat kepentingan masuk dikawasan ini. Adanya perkembangan pendekatan moderat dan revolusioner yang terlihat setelah perang dunia II dan terbentuknya Vietnam Utara dan Vietnam Selatan   dan kecenderungan politik masing – masing. Perbedaan inilah yang menimbulkan bibit – bibit perang Vietnam dan membuat Amerika ikut campur dan melibatkan diri sepenuhnya dalam perang tersebut.
David Easton yang merupakan tokoh politik dan salah satu ilmuwan perilaku mulai mempertanyakan keadaan pendekatan behavioral itu sendiri. Terutama pada saat terjadi perang antara Vietnam dan Amerika, dimana pada saat itu terjadi perpecahan internal, perang saudara dan juga adanya aturan – aturan bersifat otoriter yang menggawat di Amerika.[2] kejadian yang seperti ini yang tak pernah diramalkan oleh para ilmuwan politik penganut pendekatan perilaku. Seperti yang diketahui, bagaimana mungkin penelitian yang harusnya bersifat empirik tersebut tidak memperhatikan masalah – masalah sosial  yang sebegitu parahnya. Apa gunanya mengembangkan teknologi canggih apabila para ilmuwan politik sendiri tidak mampu mengatasai masalah sosial pada waktu itu.[3]
Pendekatan perilaku mendapat kritikan dari David Easton. Easton juga pernah menguraikan beberapa karakter utama pendekatan pasca perilaku didalam tulisannya “the new revolution in political science” yang bernama credo of relevance , pokok – pokok dari tulisannya itu yaitu yang pertama , pendekatan perilaku secara terselubung bersifat konservatif karean terlalu menekankan keseimbangan terhadap suatu sistem dan memberi peluang untuk perubahan. Kedua dalam penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi sangat abstrak dan tidak relevan dalam masalah social.relevansi terhadap problema – problema yang dihadapi masyarakat lebih penting disbanding kecermatan. Ketiga, penelitian tidak boleh menghilangkan nilai – nilai tapi perlu mendapat bahasan,dengan kata lain ilmu tidak bisa netral dalam evaluasinya. Keempat, para cendekiawan harus mempunyai tugas yang historis dan unik untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah social dan mempertahankan nilai – nilai kemanusiaan.[4]

Kritik Terhadap Pendekatan Pasca Tingkah Laku
Pendekatan pasca tingkah laku muncul dengan latar belakang di akhir tahun 1960an, David Easton yang merupakan pencetus general system theory mulai mempertanyakan pendekatan perilaku. Pendekatan ini juga lahir dari adanya kritik-kritik pada pendekatan tingkah laku mengenai tiga preposisi utama dari pendekatan tingkah laku itu sendiri yaitu (1) unit analisis ditekankan pada individu yang terlepas dari kelompok atau institusi; (2) fakta harus dipisahkan dari nilai; dan (3) penjelasan mengenai legitimasi selalu dimaknai dalam lingkup hukum dan konstitusi—secara umum—namun tidak pernah dimaknai dalam lingkup pernyataan deskriptif dalam fakta-fakta yang terjadi.[5]
·         Keberatan terhadap klaim positivis bahwa pernyatan yang bukan definisi (tautologis yang bermanfaat) dann tidak empiris itu tidak bermakna. Kritik ini menekankan pada tidak akan adanya peran bagi teori normatif, estetika, atau heurmenitika dalam analisis politik dan sosial. Sebaliknya, mereka akan membuktikan bahwa pendekatan ini menghaasilkan suatu bentuk pengetahuan atau pemahaman yang berbeda.
·         Tendensi ke arah empirisme yang kurang intelektual. Petama, pendekatan tingkah laku memiliki tendensi untuk menekankan apa yang dapat dengan mudah diukur, daripada apa yang mungkin akan penting secara teoritis. Permasalahannya, jenis kritisme ini akan selalu mudah untuk dibuat dalam arti bahwa apa yang bagi seseorang bersifat remeh, bisa jadi dianggap mendalam bagi orang lain. Kedua, penelitian pendekatan tingkah laku muncul dari fokus yang terlalu empiris, dimana kecenderungan untuk berkonsentrasi pada fenomena yang telah di observasi—seperti pemungutan suara—dibanding pada kekuatan struktural yang lebih halus, lebih mendalam, yang memajukan stabilitas dan perubahan dalam sistem sosial dan politik.
·         Anggapan indepedensi teori dan observasi.[6] Hal ini muncul karena pada awalnya, orang-orang tingkah laku era awal memproklamirkan pendekatan mereka terhadap penyelidikan sosial sebagai sesuatu yang “ilmiah” dan “bebas nilai”. Mereka tidak sedang berusaha mencari pembenaran bagi suatu pendirian etis atau politik tertentu. namun mereka sekedar berusaha membongkar fakta lewat observasi yang tidak berat sebelah atau tidak bias. Mereka berusaha netral dalam menjelaskannya secara politik.
Istilah New revolution in political science yang muncul pada tahun 1960 ini disebut-sebut sebagai directed against a developing behavioral orthodoxy dimana pendekatan tingkah laku dianggap sebagai a successful protest[7] oleh Robert A. Dahl. Hal utama dari revolusi ini adalah yang pertama, ilmuwan politik kontemporer Amerika mulai merasakan adanya sesuatu yang tidak relevan dalam kecenderungan politik dengan mengejar kesempurnaan dalam metodologi. Kedua, istilah bebas nilai yang menjadi gagasan utama dari para ilmuwan pendekatan pasca tingkah laku dirasa tidak dimungkinkan seratus persen murni bebas nilai. Kritik yang datang dari para ilmuwan pendekatan tingkah laku sendiri ini muncul dan meragukan bahwa pekerjaan ini akan selalu dipengaruhi oleh penilaian dan judgements personal dimana persepsi ini akan dipengaruhi oleh situasi status quo yang terjadi di Amerika Serikat yang pada saat itu tengah salah dalam menyampaikan gambaran kehidupan politik dan demokrasi.[8]
Pendekatan tingkah laku yang terlalu mendepankan metode kuantifikasi memperlihatkan ilmuwan politik pada saat itu cenderung untuk melestarikan keilmiahan dari Ilmu Politik saja dengan menghasilkan banyak teori. Metode kuantifikasi ini membuat ilmuwan menganggap dirinya sebagai murni peneliti. Kritik datang pada ilmuwan politik tingkah laku, mereka dianggap tidak memperhatikan fenomena sosial yang terjadi di sekeliling mereka seperti adanya diskriminasi, dominasi, dan kemiskinan. Mereka hanya fokus pada proses yang terjadi seperti sistem yang terdapat dalam sistem politik dalam kotak konversi dimana yang dipentingkan adalah respon (input) dan hasil (output) saja. Sebagai contoh, peneliti memandang negara adalah murni sebatas negara yang netral dan steril dalam menjalani urusan kenegaraan. Faktanya, negara belum tentu selalu netral dan bebas nilai. Inilah yang luput dari ilmuwan tingkah laku, mereka terlalu bebas nilai dan menyadari sebuah fenomena dengan pemahaman sebatas sebagai kejadian yang memang terjadi dan tidak berusaha untuk mengatasi permasalahan yang muncul pada fenomena tersebut dan tidak menyesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat.
Ilmuwan pendekatan tingkah laku yang beralih menjadi ilmuwan pasca tingkah laku menyadari akan kelemahan yang telah terjadi atas pemikiran ulang dari para ilmuwan tingkah laku mengenai pendekatan-pendekatan yang dinilai dangkal dan seringkali tidak relevan ini. mereka menyadari akan keterlibatannya dalam pembuatan beberapa paradigma, kerangka konseptual, model-model, teori-teori, dan meta teori. Padahal, seperti yang sudah disebutkan tadi, dunia sesungguhnya tengah menghadapi krisis-krisis sosial, ekonomi, dan budaya yang kian parah sedangkan mereka bekerja dengan tekun dalam perpustakaan kampus universitas yang ekslusif, membentuk sebuah menara gading.[9]
Pendekatan tingkah laku yang begitu fokus pada metode penelitian kuantifikasi seperti masalah-masalah stabilitas, ekuilibrium dengan didasarkan pada skala-skala, indeks-indeks, dan teknik-teknik khusus untuk mengumpulkan data dan menganalisa data menimbulkan kesadaran sendiri  dalam penelitian. Penelitian dengan pengembangan teknik-teknik yang memadai serta peralatan riset yang canggih nyatanya tidak mampu memahami masalah sosial dan politik yang terjadi pada saat itu, bahkan mereka tidak berhasil memberikan sumbangan pemikiran untuk memecahkan masalah tersebut. Terlalu fokusnya pada metode kuantifikasi dan statistik menyadarkan mereka akan tidak semua hal bisa diukur dengan angka. Metode kuantifikasi bukanlah menjadi tujuan utama dalam pemecahan suatu masalah sosial, tapi hanya menjadi alat untuk menganalisa data dan membantu pemecahan masalah.[10] David Easton sempat menanyakan kembali apa yang telah dilakukannya selama ini berserta dengan para ilmuwan lainnya, “tidakkah kita berkewajiban memperhitungkan kondisi-kondisi yang berubah dan selalu siap dan mau mempertimbangkan kembali bayangan-bayangan yang lama dan memodifikasinya bila perlu?” seperti yang dikutip dari Varma.
Kritik utama pendekatan tingkah laku ini hal mendasar kembali ke filsafat ilmu pengetahuan dimana sebuah ilmu haruslah berguna bagi masyarakat, dimana para ilmuwan tingkah laku ini melihat sebuah gejala dangan statis padahal fenomena yang terjadi merupakan sesuatu yang dinamis, yang selalu berubah. Teori-teori yang banyak dihasilkan oleh ilmuwan tidak memikirkan bagaimana proses dan cara kerjanya atau solusi dari sebuah teori tersebut atas fenomena yang terjadi. 
Munculnya pendekatan pasca tingkah laku adalah sebagai sebuah penerimaan dari apa-apa yang telah dicapai oleh pendekatan tingkah laku, tetapi berusaha untuk mendorong ilmu politik lebih jauh lagi, ke arah suatu cakrawala baru.[11] Berbeda dengan pendekatan tradisional yang sepenuhnya menolak validitas pendekatan yang menekankan pada prilaku dan selalu mengulang kembali pada klasik ilmu politik. Pasca tingkah laku berusaha untuk melengkapi dari yang sudah dicapai dari masa lalu daripada sekedar menolaknya yang digagas oleh ilmuwan politik dari segala macam pandangan seperti konservatif atau ekstrim kiri. Semuanya berangkat dari sebuah keyakinan yaitu ketidakpuasaan yang mendalam terhadap arah penelitian politik pada masa itu.
d.      Kesimpulan
Pendekatan pasca tingkah laku adalah sebuah pendekatan yang masih menumpuk sejumlah perdebatan. Ia menjadi sebuah pendekatan yang dianggap “komplit”  yang muncul karena adanya ketidaksesuaian dan antara teori yang dihasilkan dengan kebutuhan masyarakat secara nyata ini menjadi salah satu faktor utama yang menjadi kritikan (relevansi). Pendekatan ini juga muncul karena adanya fokus yang berlebih dari ilmuwan pada saat itu pada metode kuantifikasi yang ilmiah sekali seperti factor analysis, cross tabulation, korelasi, dan metode berbasis data dan angka lainnya. Hal ini tidak sesuai dengan fenomena masyarakat yang terjadi dan membuat ilmuwan berdiam diri dalam menara gadingnya. Ilmuwan menyadari adanya masalah yang terjadi tapi tidak terpanggil untuk membenahinya. Mereka menjadi ilmuwan yang dengan pendekatan ini sebagai ilmuwan bebas nilai. Prinsip bebas nilai ini juga kelak mendapat kritikan karena dinyatakan tidak mungkin untuk selalu bebas nilai. Pasti akan ada penilaian personal dari ilmuwan itu sendiri.
Pendekatan pasca tingkah laku ini menjadi sebuah pendekatan yang memiliki kelemahan metodologis pada akhirnya. ia tidak berhasil merumuskan sebuah teori-teori politik yang baku yang masih menuai perdebatan. hal ini merupakan sebuah konsekuensi dari proses pensempurnaan pendekatan sebelumnya.
Daftar Pustaka
Buku
·         Marsh, David dan Gerry Stroker. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Bandung:Penerbit Nusa Media. 2010
·         Varma, S,P. Teori-Teori Politik Modern. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2010
·         Nasruddin. Kuantifikasi Ilmu-Ilmu Sosial: Suatu Kemajuan atau Pembiasaan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 2002
·         Budiardjo, Miriam. Dasar -Dasar Ilmu politik.  Jakarta: PT.Gramedia. 2008
·         Ilmu Politik Indonesia. Jurnal Ilmu Politik Volume 1. Jakarta: PT.Gramedia. 1986

Internet
·         Kim, K,W. The Limits of Behavioral Explanation in Politic. Blackwell Publishing. http://www.jstor.org.stable/139732
·         Kirn, E, Micheal. Behavioralism, Post-Behavioralims, and The Philopsophy of Science: Two Houses, One Plague. Cambridge University Press, http://www.jstor.org.stable/1406579



[1] Budiardjo,Miriam, Dasar – Dasar Ilmu politik , Jakarta: PT.gramedia pustaka utama, 2008. Hlm. 74
[2] S.P Varma, Teori-Teori Politik Modern, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010, hal 30
[3] Ibid, hlm. 52
[4] Asosiasi ilmu politik Indonesia , jurnal ilmu politik 1 , (PT.gramedia,Jakarta, 1986)
[5] K. W. Kim, The Limits of Behavioral Explanation in Politics, Blackwell Publishing, http://www.jstor.org.stable/139732
[6] David Marsh dan Gerry Stroker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik, Bandung:Penerbit Nusa Media, 2010. Hlm 60
[7] K.W. Kim, op.cit
[8] Michael E. Kirn, Behavioralism, Post-Behavioralims, and The Philopsophy of Science: Two Houses, One Plague, Cambridge University Press, http://www.jstor.org.stable/1406579
[9] Varma, op.cit, hal 50
[10] Nasruddin, Kuantifikasi Ilmu-Ilmu Sosial: Suatu Kemajuan atau Pembiasaan, Bogor:2002, Institut Pertanian Bogor. Hlm 13
[11] S.P Varma, op.cit, hlm 52