Metodologi
Ilmu Politik
Latar Belakang Munculnya Pendekatan Pasca Tingkah
Laku
Oleh: Yasinta Sonia Ariesti
(1006762612), Anisa Nurul Amanah (1006772020), Anindhita Luky Lestuhayu (1006772014)
a.
Pendahuluan
Pendekatan
pasca tingkah laku adalah sebuah pendekatan yang memiliki dua tuntutan utama
yaitu relevansi dan tindakan, berbeda dengan pendekatan sebelumnya yaitu
pendekatan tingkah laku yang tuntutan utamanya adalah akan adanya dikotomi
antar nilai dan fakta yang menekankan untuk mendahulukan kerja keras dan
pengalaman, baru kemudian masalah relevansi. Perbedaan yang mendasar ini
tentunya telah memacu ilmuwan ilmu politik tingkah laku dan kalangan lainnya
untuk membenahi pendekatan ini agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Masyarakat dan lingkungan sekitar pada saat itu ternyata bukanlah menjadi
tuntutan utama yang mana terjadi krisis dalam kehidupan seperti krisis sosial,
ekonomi, dan politik. Para ilmuwan menghasilkan banyak teori yang tidak sesuai
dan tidak sejalan dengan apa yang terjadi. Hal ini terjadi karena adanya
kecenderungan dari ilmuwan untuk memajukan ilmu politik dengan menghasilkan
teori dan memajukan metode kuantifikasinya dengan tujuan yang ilmiah.
Relevansinya
dengan kebutuhan masyarakat dan orientasinya pada teknik (kuantifikasi) inilah
yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan pasca tingkah laku. Asumsi masyarakat
yang muncul adalah seharusnya produk dari pendekatan ini seperti teori dan
metode mampu untuk mengadvokasi masyarakat. Perang Vietnam yang terjadi pada
saat itu memunculkan pertanyaan dari banyak ilmuwan pendekatan tingkah laku.
Ternyata, kuantifikasi tidak selalu menjadi solusi meski didukung dengan data
dan indikator. Kuantifikasi tidak bisa mengukur hal-hal lain yang tidak bewujud
dalam angka seperti faktor ideologi dan semangat yang menjadi intisari dari
perang Vietnam. Ilmuwan tidak bisa mengukur dua hal tersebut meski sudah
memperhitungkan dengan matang faktor lain seperti jumlah peluru, jumlah
personil perang, dan lainnya.
b. Rumusan Masalah
Pendahuluan
yang telah dijelaskan memberikan batasan pada makalah ini untuk menjawab
permasalahan “Apakah faktor determinan
yang melatarbelakangi munculnya pendekatan pasca tingkah laku?”
c.
Pembahasan
Latar Belakang Munculnya Pendekatan
Pasca Tingkah Laku
Sebelum
membahas tentang pendekatan pasca tingkah laku, dalam makalah ini pertama –
pertama akan menjelaskan sedikit tentang pendekatan tingkah laku . awalanya
pendekatan tingkah laku muncul dan berkembang di Amerika pasca perang dunia
kedua dan pokok pemikiran dari pendekatan ini adalah lembaga formal bukan
sesuatu yang perlu dibahas karena hal tersebut tidak memberikan informasi
mengenai proses politik tapi lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku
manusia karena merupakan gejala yang dapat diamati.[1]
Salah satu pelopor dari pendekatan ini adalah Gabriel almond . disisi lain
terdapat juga kritik dari berbagai pihak
terhadap pendekatan ini . contohnya adalah pedekatan tradisional yang masih
mempertahankan hal – hal yang lama dimana pendekatan tersebut sangat
kontadiktif dengan pendekatan tingkah laku sendiri yang cenderung melihat
kedepan atau future oriented dan
terdapat beberapa perbedaan lain diantara kedua pendekatan teersebut, selain
dari pendekatan tersebut muncul pula reaksi dari sebuah gerakan yang dinamakan
revolusi pasca perilaku gerakan ini muncul di amerika pada pertengahan decade
enam puluahan dan mencapai puncaknya pada saat perang Vietnam dan Amerika. Kecamaan
ini muncul karena pendekatan perilaku memiliki banyak masalah salah satunya
adanya diskriminasi ras dan hal tersebut tidak diselesaikan oleh para penganut
pendekatan perilaku. Menurut penganut pasca perilaku, para penganut perilaku
telah gagal dalam menyelesaikan masalah yang timbul dari perang Vietnam
tersebut oleh karena itu gerakan pasca perilaku ini mencanangkan perlunya
sebuah relevansi dan tindakan.
Bibit
terjadinya perang tersebut awalnya karena para ilmuwan, kaum militer, dan para
politisi di Amerika tidak mengetahui
keberadaan Vietnam mereka sama sekali dan tidak mengenal negara tersebut.
Masyarakat Amerika juga menganggap bahwa Vietnam adalah negara yang mudah untuk
dipermainkan. Hal ini disebabkan oleh penjajahan sebelumnya yaitu oleh Prancis
yang terttutup dan sikap tidak peduli terhadap Asia dan sejarah membuat Amerika
tidak menyadari bahwa Vietnam termasuk negara tua dengan sejarahnya sendiri.
Vietnam awalnya memang dikuasai oleh China baik itu sejarah, kondisi fisik,
tanah , dan kultur bangsanya. Vietnam yang mendapat kemerdekaan cukup lama
membuat seringnya terjadi persaingan internal dan perbutan dominasi oleh para
tokohnya sendiri, konflik internal ini yang kembali membuat kepentingan masuk
dikawasan ini. Adanya perkembangan pendekatan moderat dan revolusioner yang
terlihat setelah perang dunia II dan terbentuknya Vietnam Utara dan Vietnam
Selatan dan kecenderungan politik
masing – masing. Perbedaan inilah yang menimbulkan bibit – bibit perang Vietnam
dan membuat Amerika ikut campur dan melibatkan diri sepenuhnya dalam perang
tersebut.
David
Easton yang merupakan tokoh politik dan salah satu ilmuwan perilaku mulai
mempertanyakan keadaan pendekatan behavioral itu sendiri. Terutama pada saat
terjadi perang antara Vietnam dan Amerika, dimana pada saat itu terjadi
perpecahan internal, perang saudara dan juga adanya aturan – aturan bersifat
otoriter yang menggawat di Amerika.[2]
kejadian yang seperti ini yang tak pernah diramalkan oleh para ilmuwan politik
penganut pendekatan perilaku. Seperti yang diketahui, bagaimana mungkin
penelitian yang harusnya bersifat empirik tersebut tidak memperhatikan masalah
– masalah sosial yang sebegitu parahnya.
Apa gunanya mengembangkan teknologi canggih apabila para ilmuwan politik
sendiri tidak mampu mengatasai masalah sosial pada waktu itu.[3]
Pendekatan
perilaku mendapat kritikan dari David Easton. Easton juga pernah menguraikan
beberapa karakter utama pendekatan pasca perilaku didalam tulisannya “the new revolution in political science”
yang bernama credo of relevance , pokok – pokok dari tulisannya itu yaitu yang
pertama , pendekatan perilaku secara terselubung bersifat konservatif karean
terlalu menekankan keseimbangan terhadap suatu sistem dan memberi peluang untuk
perubahan. Kedua dalam penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi
sangat abstrak dan tidak relevan dalam masalah social.relevansi terhadap
problema – problema yang dihadapi masyarakat lebih penting disbanding
kecermatan. Ketiga, penelitian tidak boleh menghilangkan nilai – nilai tapi
perlu mendapat bahasan,dengan kata lain ilmu tidak bisa netral dalam
evaluasinya. Keempat, para cendekiawan harus mempunyai tugas yang historis dan
unik untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah social dan
mempertahankan nilai – nilai kemanusiaan.[4]
Kritik Terhadap Pendekatan Pasca
Tingkah Laku
Pendekatan
pasca tingkah laku muncul dengan latar belakang di akhir tahun 1960an, David
Easton yang merupakan pencetus general
system theory mulai mempertanyakan pendekatan perilaku. Pendekatan ini juga
lahir dari adanya kritik-kritik pada pendekatan tingkah laku mengenai tiga
preposisi utama dari pendekatan tingkah laku itu sendiri yaitu (1) unit
analisis ditekankan pada individu yang terlepas dari kelompok atau institusi;
(2) fakta harus dipisahkan dari nilai; dan (3) penjelasan mengenai legitimasi
selalu dimaknai dalam lingkup hukum dan konstitusi—secara umum—namun tidak
pernah dimaknai dalam lingkup pernyataan deskriptif dalam fakta-fakta yang
terjadi.[5]
·
Keberatan terhadap klaim positivis bahwa
pernyatan yang bukan definisi (tautologis yang bermanfaat) dann tidak empiris
itu tidak bermakna. Kritik ini menekankan pada tidak akan adanya peran bagi
teori normatif, estetika, atau heurmenitika dalam analisis politik dan sosial.
Sebaliknya, mereka akan membuktikan bahwa pendekatan ini menghaasilkan suatu
bentuk pengetahuan atau pemahaman yang berbeda.
·
Tendensi ke arah empirisme yang kurang
intelektual. Petama, pendekatan tingkah laku memiliki tendensi untuk menekankan
apa yang dapat dengan mudah diukur, daripada apa yang mungkin akan penting
secara teoritis. Permasalahannya, jenis kritisme ini akan selalu mudah untuk
dibuat dalam arti bahwa apa yang bagi seseorang bersifat remeh, bisa jadi
dianggap mendalam bagi orang lain. Kedua, penelitian pendekatan tingkah laku muncul
dari fokus yang terlalu empiris, dimana kecenderungan untuk berkonsentrasi pada
fenomena yang telah di observasi—seperti pemungutan suara—dibanding pada
kekuatan struktural yang lebih halus, lebih mendalam, yang memajukan stabilitas
dan perubahan dalam sistem sosial dan politik.
·
Anggapan indepedensi teori dan
observasi.[6]
Hal ini muncul karena pada awalnya, orang-orang tingkah laku era awal
memproklamirkan pendekatan mereka terhadap penyelidikan sosial sebagai sesuatu
yang “ilmiah” dan “bebas nilai”. Mereka tidak sedang berusaha mencari
pembenaran bagi suatu pendirian etis atau politik tertentu. namun mereka
sekedar berusaha membongkar fakta lewat observasi yang tidak berat sebelah atau
tidak bias. Mereka berusaha netral dalam menjelaskannya secara politik.
Istilah
New revolution in political science
yang muncul pada tahun 1960 ini disebut-sebut sebagai directed against a developing behavioral orthodoxy dimana
pendekatan tingkah laku dianggap sebagai a
successful protest[7]
oleh Robert A. Dahl. Hal utama dari revolusi ini adalah yang pertama, ilmuwan
politik kontemporer Amerika mulai merasakan adanya sesuatu yang tidak relevan
dalam kecenderungan politik dengan mengejar kesempurnaan dalam metodologi.
Kedua, istilah bebas nilai yang menjadi gagasan utama dari para ilmuwan
pendekatan pasca tingkah laku dirasa tidak dimungkinkan seratus persen murni
bebas nilai. Kritik yang datang dari para ilmuwan pendekatan tingkah laku
sendiri ini muncul dan meragukan bahwa pekerjaan ini akan selalu dipengaruhi
oleh penilaian dan judgements
personal dimana persepsi ini akan dipengaruhi oleh situasi status quo yang
terjadi di Amerika Serikat yang pada saat itu tengah salah dalam menyampaikan
gambaran kehidupan politik dan demokrasi.[8]
Pendekatan
tingkah laku yang terlalu mendepankan metode kuantifikasi memperlihatkan
ilmuwan politik pada saat itu cenderung untuk melestarikan keilmiahan dari Ilmu
Politik saja dengan menghasilkan banyak teori. Metode kuantifikasi ini membuat
ilmuwan menganggap dirinya sebagai murni peneliti. Kritik datang pada ilmuwan
politik tingkah laku, mereka dianggap tidak memperhatikan fenomena sosial yang
terjadi di sekeliling mereka seperti adanya diskriminasi, dominasi, dan
kemiskinan. Mereka hanya fokus pada proses yang terjadi seperti sistem yang
terdapat dalam sistem politik dalam kotak konversi dimana yang dipentingkan
adalah respon (input) dan hasil (output) saja. Sebagai contoh, peneliti
memandang negara adalah murni sebatas negara yang netral dan steril dalam
menjalani urusan kenegaraan. Faktanya, negara belum tentu selalu netral dan
bebas nilai. Inilah yang luput dari ilmuwan tingkah laku, mereka terlalu bebas
nilai dan menyadari sebuah fenomena dengan pemahaman sebatas sebagai kejadian
yang memang terjadi dan tidak berusaha untuk mengatasi permasalahan yang muncul
pada fenomena tersebut dan tidak menyesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan
masyarakat.
Ilmuwan
pendekatan tingkah laku yang beralih menjadi ilmuwan pasca tingkah laku menyadari
akan kelemahan yang telah terjadi atas pemikiran ulang dari para ilmuwan
tingkah laku mengenai pendekatan-pendekatan yang dinilai dangkal dan seringkali
tidak relevan ini. mereka menyadari akan keterlibatannya dalam pembuatan
beberapa paradigma, kerangka konseptual, model-model, teori-teori, dan meta
teori. Padahal, seperti yang sudah disebutkan tadi, dunia sesungguhnya tengah
menghadapi krisis-krisis sosial, ekonomi, dan budaya yang kian parah sedangkan
mereka bekerja dengan tekun dalam perpustakaan kampus universitas yang ekslusif,
membentuk sebuah menara gading.[9]
Pendekatan
tingkah laku yang begitu fokus pada metode penelitian kuantifikasi seperti
masalah-masalah stabilitas, ekuilibrium dengan didasarkan pada skala-skala,
indeks-indeks, dan teknik-teknik khusus untuk mengumpulkan data dan menganalisa
data menimbulkan kesadaran sendiri dalam
penelitian. Penelitian dengan pengembangan teknik-teknik yang memadai serta
peralatan riset yang canggih nyatanya tidak mampu memahami masalah sosial dan
politik yang terjadi pada saat itu, bahkan mereka tidak berhasil memberikan
sumbangan pemikiran untuk memecahkan masalah tersebut. Terlalu fokusnya pada
metode kuantifikasi dan statistik menyadarkan mereka akan tidak semua hal bisa
diukur dengan angka. Metode kuantifikasi bukanlah menjadi tujuan utama dalam
pemecahan suatu masalah sosial, tapi hanya menjadi alat untuk menganalisa data
dan membantu pemecahan masalah.[10]
David Easton sempat menanyakan kembali apa yang telah dilakukannya selama ini
berserta dengan para ilmuwan lainnya, “tidakkah kita berkewajiban
memperhitungkan kondisi-kondisi yang berubah dan selalu siap dan mau
mempertimbangkan kembali bayangan-bayangan yang lama dan memodifikasinya bila
perlu?” seperti yang dikutip dari Varma.
Kritik
utama pendekatan tingkah laku ini hal mendasar kembali ke filsafat ilmu
pengetahuan dimana sebuah ilmu haruslah berguna bagi masyarakat, dimana para
ilmuwan tingkah laku ini melihat sebuah gejala dangan statis padahal fenomena
yang terjadi merupakan sesuatu yang dinamis, yang selalu berubah. Teori-teori
yang banyak dihasilkan oleh ilmuwan tidak memikirkan bagaimana proses dan cara
kerjanya atau solusi dari sebuah teori tersebut atas fenomena yang
terjadi.
Munculnya
pendekatan pasca tingkah laku adalah sebagai sebuah penerimaan dari apa-apa
yang telah dicapai oleh pendekatan tingkah laku, tetapi berusaha untuk
mendorong ilmu politik lebih jauh lagi, ke arah suatu cakrawala baru.[11]
Berbeda dengan pendekatan tradisional yang sepenuhnya menolak validitas
pendekatan yang menekankan pada prilaku dan selalu mengulang kembali pada
klasik ilmu politik. Pasca tingkah laku berusaha untuk melengkapi dari yang
sudah dicapai dari masa lalu daripada sekedar menolaknya yang digagas oleh
ilmuwan politik dari segala macam pandangan seperti konservatif atau ekstrim
kiri. Semuanya berangkat dari sebuah keyakinan yaitu ketidakpuasaan yang
mendalam terhadap arah penelitian politik pada masa itu.
d.
Kesimpulan
Pendekatan
pasca tingkah laku adalah sebuah pendekatan yang masih menumpuk sejumlah
perdebatan. Ia menjadi sebuah pendekatan yang dianggap “komplit” yang muncul karena adanya ketidaksesuaian dan
antara teori yang dihasilkan dengan kebutuhan masyarakat secara nyata ini
menjadi salah satu faktor utama yang menjadi kritikan (relevansi). Pendekatan ini juga muncul karena adanya fokus yang
berlebih dari ilmuwan pada saat itu pada metode
kuantifikasi yang ilmiah sekali seperti factor
analysis, cross tabulation, korelasi, dan metode berbasis data dan angka
lainnya. Hal ini tidak sesuai dengan fenomena masyarakat yang terjadi dan
membuat ilmuwan berdiam diri dalam menara gadingnya. Ilmuwan menyadari adanya masalah
yang terjadi tapi tidak terpanggil untuk membenahinya. Mereka menjadi ilmuwan
yang dengan pendekatan ini sebagai ilmuwan bebas nilai. Prinsip bebas nilai ini
juga kelak mendapat kritikan karena dinyatakan tidak mungkin untuk selalu bebas
nilai. Pasti akan ada penilaian personal dari ilmuwan itu sendiri.
Pendekatan
pasca tingkah laku ini menjadi sebuah pendekatan yang memiliki kelemahan
metodologis pada akhirnya. ia tidak berhasil merumuskan sebuah teori-teori
politik yang baku yang masih menuai perdebatan. hal ini merupakan sebuah
konsekuensi dari proses pensempurnaan pendekatan sebelumnya.
Daftar Pustaka
Buku
·
Marsh, David dan Gerry Stroker. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik.
Bandung:Penerbit Nusa Media. 2010
·
Varma, S,P. Teori-Teori Politik Modern. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2010
·
Nasruddin. Kuantifikasi Ilmu-Ilmu Sosial: Suatu Kemajuan atau Pembiasaan.
Bogor: Institut Pertanian Bogor. 2002
·
Budiardjo, Miriam. Dasar -Dasar Ilmu politik.
Jakarta: PT.Gramedia. 2008
·
Ilmu Politik Indonesia. Jurnal Ilmu Politik Volume 1. Jakarta: PT.Gramedia.
1986
Internet
·
Kim, K,W. The Limits of Behavioral Explanation in Politic. Blackwell
Publishing. http://www.jstor.org.stable/139732
·
Kirn, E, Micheal. Behavioralism, Post-Behavioralims, and The Philopsophy of Science: Two
Houses, One Plague. Cambridge University Press, http://www.jstor.org.stable/1406579
[1]
Budiardjo,Miriam, Dasar – Dasar Ilmu
politik , Jakarta: PT.gramedia pustaka utama, 2008. Hlm. 74
[2] S.P
Varma, Teori-Teori Politik Modern,
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010, hal 30
[3] Ibid,
hlm. 52
[4] Asosiasi
ilmu politik Indonesia , jurnal ilmu politik 1 , (PT.gramedia,Jakarta, 1986)
[5] K. W.
Kim, The Limits of Behavioral Explanation
in Politics, Blackwell Publishing, http://www.jstor.org.stable/139732
[6] David
Marsh dan Gerry Stroker, Teori dan Metode
dalam Ilmu Politik, Bandung:Penerbit Nusa Media, 2010. Hlm 60
[7] K.W.
Kim, op.cit
[8] Michael
E. Kirn, Behavioralism, Post-Behavioralims,
and The Philopsophy of Science: Two Houses, One Plague, Cambridge University
Press, http://www.jstor.org.stable/1406579
[9] Varma, op.cit, hal 50
[10]
Nasruddin, Kuantifikasi Ilmu-Ilmu Sosial:
Suatu Kemajuan atau Pembiasaan, Bogor:2002, Institut Pertanian Bogor. Hlm
13
[11] S.P
Varma, op.cit, hlm 52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar