REVIEW
III: Social Research Strategies
Oleh:
Yasinta Sonia Ariesti
NPM:
1006762612
Materi
kali ini akan membahas secara dalam mengenai hubungan antara teori dan
penelitian. Bagaimana teori dapat membangun sebuah penelitian (deduktif) atau
bagaimana teori yang menjadi hasil dari suatu penelitian (induktif) dan akan
membahas mengenai epistimologi, yang mempermasalahkan apakah metode penelitian
yang dipakai oleh ilmu alam bisa dipakai juga untuk ilmu sosial? Dan ontologi
yang mempermasalahkan mengenai apakah dunia sosial dipandang sebagai aktor
sosial atau masyarakat terlibat dalam proses penciptaan dunia sosial tersebut.
Teori
secara umum adalah penjelasan tentang sesuatu yang diteliti. Contoh kasusnya
adalah mengapa penderita schizoprenia biasanya diderita oleh kalangan pekerja,
bukan dari kelas menengah, dan contoh lainnya. Yang patut dibedakan disini,
teori-teori ini berfokus pada hal-hal yang lebih umum dan lebih abstak seperti
teori fungsional, postkultural, teori kritik, dll. teori juga dibagi dua dalam lingkup
pemahamannya. Ada grand theories dan middle range theories.
Grand theories
merupakan teori yang terdapat pada level umum yang masih abstak lingkupannya. Grand theories merupakan teori awal bagi
para peneliti untuk memahami level dasar permasalahan karena teori ini
memberikan gambaran dan indikasi awal dan membantu si peneliti untuk membentuk
dan mencari bukti-bukti empiris lainnya. Middle
range theories adalah teori yang berbasis data empirik dan menengahi teori
umum dari sistem sosial yang sudah jauh dan tidak mendeskripsikan secara jelas
perilaku kelas sosial. Teori ini lebih spesifik dalam menjabarkan tentang
perilaku sosial suatu golongan/kelompok dan dapat dibuktikan dalam suatu
kondisi dimana adanya kesamaan antar peneliti.
Empirisme
mengatakan suatu ilmu pengetahuan dapat disebut ilmu pengetahuan jika diuji
secara empiris dan berdasarkan pengalaman. Alat-alat pengujinya adalah
fakta-fakta dan teori yang ditemukan selama penelitian. Pembentukan teori
dibagi menjadi dua cara yaitu deduktif dan induktif. Teori deduktif mewakili
pandangan yang paling umum dari ilmu alam dan hubungannya antara teori dan
penelitian sosial. Penelitian ini bersifar linier, dimana dari teori awal
dibangun menjadi sebuah hipotesis, lalu pengumpulan data, lalu penemuan, lalu
dengan penemuan itu hipotesis diuji apakah dapat diterima atau tidak, dan di
akhiri dengan revisi teori.
Teori
induktif adalah kebalikan dari deduktif. Dimana teori adalah hasil dari
penelitian. Jadi, teori akan terbentuk dari hasil pengumpulan data dan
analisisnya. Ini akan lebih mudah bagi peneliti karena pada awalnya, si
peneliti akan merasa bingung dengan objek penelitiannya, tapi dengan bantuan
dari data-data yang lambat laun terkumpul, akan terbentuklah suatu teori.
Pertimbangan
epistimologi lebih merujuk pada ilmu apa yang dianggap lebih pantas sebagai
suatu ilmu pengetahuan. Epistimologi ilmu alam disebut juga sebagai positivis.
Positivisme hanya menerima fenomena alam (yang dapat diterima oleh akal),
hipotesis yang dapat diuji dan bebas nilai. Positivisme melihat suatu obejek
dengan cara induksi dan objektif.
Sedangkan
realisme memandang ilmu alam dan ilmu sosial sama dalam pengolahan data dan
penjelasannya. Dan diantara ilmu alam dan ilmu sosial, realisme juga melihat
ada faktor luar yang mempengaruhi suatu fenomena. Realisme empirik menggunakan
metode yang sesuai dan bisa dipahami yang menyeimbangkan antara praktek dan
teori, dimana sebuah struktur penyusun fenomena menjadi hal yang penting untuk
dilihat pada realisme kritik.
Interpretivisme
memandang dan menghormati perbedaan antara orang dan objek dalam ilmu alam dan
si peneliti pasti memasukan unsur-unsur subjektifnya dalam membuat strategi
penelitian. Dalam interpretivisme, sangat mengandalkan unsur-unsur humanis
dalam diri si peneliti, dalam menganalisa suatu gejala atau fenomena.
Interpretasi sesorang diandalkan disini.
Masuk
ke perimbangan ontologi yang menekankan pandangannya pada sifat entitas sosial
dan apa yang dilihat oleh si peneliti. Ontologi dibagi menjadi dua, yaitu
objektivisme dan konstruktivisme. Objektivisme menilai adanya jarak pada aktor
sosial dengan fenomena sosialnya. Sedangkan konstruktivis melihat fenomena
sosial terjadi karena adanya perilaku yang dilakukan oleh si aktor sosial, jadi
pandangan ontologi ini melihat tidak adanya jarang yang berarti antara si aktor
sosial dan fenomenanya, begitu juga dengan si peneliti jika akan meneliti.
Pada
intinya, semu teori ini sangat berpengaruh pada pemilihan metode bagaimana cara
pengumpulan data, pengolahannya, analisisnya, jenis, teknik dan alat untuk
mendapatkan data tersebut yang berujung pada pemilihan kuantitatif atau
kualitatif. Jika disimpulkan pada akhir review ini, kuantitatif cenderung untuk
memakai pemikiran deduktif untuk menguji dan membuktikan teori yang dipakai di
awal. Sedangkan kualitatif menggunakan induktif untuk menggunakan data-data
yang ditemukan untuk menghimpun dan membuat satu teori baru. Dari sisi
epistimploginya, kuantitatif akan lebih berat pada pandangan positivisme,
sedangkan kualitatif dengan interprettivisme yang mengandalkan kemampuan
masing-masing peneliti sebagai individu yang memiliki ke-subjektifisan dalam
menginterpretasikan suatu gejala atau fenomena. Dan lewat pandangan
ontologinya, kuantitatif lebih objktif dan kualitatif akan cenderung
konstruktivis.
Metode
juga sangat penting dengan didukung dengan adanya unsur nilai dan pemikiran
kritis. Dimana sebagai peneliti, value free itu diharuskan. Tapi pada keadaan
sesungguhnya, bebas nilai itu tidak akan pernah terjadi. Karena pada saat di
lapangan, subjektifitas dalam diri akan mempengaruhi penilaian yang diyakini
oleh si peneliti tersebut. Sedangkan pada pemikiran kritis, akan membantu pada
objek sosial apa yang akan dijadikan bahan penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar