Sabtu, 11 Agustus 2012

MPS-REVIEW III


REVIEW III: Social Research Strategies
Oleh: Yasinta Sonia Ariesti
NPM: 1006762612
Materi kali ini akan membahas secara dalam mengenai hubungan antara teori dan penelitian. Bagaimana teori dapat membangun sebuah penelitian (deduktif) atau bagaimana teori yang menjadi hasil dari suatu penelitian (induktif) dan akan membahas mengenai epistimologi, yang mempermasalahkan apakah metode penelitian yang dipakai oleh ilmu alam bisa dipakai juga untuk ilmu sosial? Dan ontologi yang mempermasalahkan mengenai apakah dunia sosial dipandang sebagai aktor sosial atau masyarakat terlibat dalam proses penciptaan dunia sosial tersebut.
Teori secara umum adalah penjelasan tentang sesuatu yang diteliti. Contoh kasusnya adalah mengapa penderita schizoprenia biasanya diderita oleh kalangan pekerja, bukan dari kelas menengah, dan contoh lainnya. Yang patut dibedakan disini, teori-teori ini berfokus pada hal-hal yang lebih umum dan lebih abstak seperti teori fungsional, postkultural, teori kritik, dll. teori juga dibagi dua dalam lingkup pemahamannya. Ada grand theories dan middle range theories.
Grand theories merupakan teori yang terdapat pada level umum yang masih abstak lingkupannya. Grand theories merupakan teori awal bagi para peneliti untuk memahami level dasar permasalahan karena teori ini memberikan gambaran dan indikasi awal dan membantu si peneliti untuk membentuk dan mencari bukti-bukti empiris lainnya. Middle range theories adalah teori yang berbasis data empirik dan menengahi teori umum dari sistem sosial yang sudah jauh dan tidak mendeskripsikan secara jelas perilaku kelas sosial. Teori ini lebih spesifik dalam menjabarkan tentang perilaku sosial suatu golongan/kelompok dan dapat dibuktikan dalam suatu kondisi dimana adanya kesamaan antar peneliti.
Empirisme mengatakan suatu ilmu pengetahuan dapat disebut ilmu pengetahuan jika diuji secara empiris dan berdasarkan pengalaman. Alat-alat pengujinya adalah fakta-fakta dan teori yang ditemukan selama penelitian. Pembentukan teori dibagi menjadi dua cara yaitu deduktif dan induktif. Teori deduktif mewakili pandangan yang paling umum dari ilmu alam dan hubungannya antara teori dan penelitian sosial. Penelitian ini bersifar linier, dimana dari teori awal dibangun menjadi sebuah hipotesis, lalu pengumpulan data, lalu penemuan, lalu dengan penemuan itu hipotesis diuji apakah dapat diterima atau tidak, dan di akhiri dengan revisi teori.
Teori induktif adalah kebalikan dari deduktif. Dimana teori adalah hasil dari penelitian. Jadi, teori akan terbentuk dari hasil pengumpulan data dan analisisnya. Ini akan lebih mudah bagi peneliti karena pada awalnya, si peneliti akan merasa bingung dengan objek penelitiannya, tapi dengan bantuan dari data-data yang lambat laun terkumpul, akan terbentuklah suatu teori.
Pertimbangan epistimologi lebih merujuk pada ilmu apa yang dianggap lebih pantas sebagai suatu ilmu pengetahuan. Epistimologi ilmu alam disebut juga sebagai positivis. Positivisme hanya menerima fenomena alam (yang dapat diterima oleh akal), hipotesis yang dapat diuji dan bebas nilai. Positivisme melihat suatu obejek dengan cara induksi dan objektif.
Sedangkan realisme memandang ilmu alam dan ilmu sosial sama dalam pengolahan data dan penjelasannya. Dan diantara ilmu alam dan ilmu sosial, realisme juga melihat ada faktor luar yang mempengaruhi suatu fenomena. Realisme empirik menggunakan metode yang sesuai dan bisa dipahami yang menyeimbangkan antara praktek dan teori, dimana sebuah struktur penyusun fenomena menjadi hal yang penting untuk dilihat pada realisme kritik.
Interpretivisme memandang dan menghormati perbedaan antara orang dan objek dalam ilmu alam dan si peneliti pasti memasukan unsur-unsur subjektifnya dalam membuat strategi penelitian. Dalam interpretivisme, sangat mengandalkan unsur-unsur humanis dalam diri si peneliti, dalam menganalisa suatu gejala atau fenomena. Interpretasi sesorang diandalkan disini.
Masuk ke perimbangan ontologi yang menekankan pandangannya pada sifat entitas sosial dan apa yang dilihat oleh si peneliti. Ontologi dibagi menjadi dua, yaitu objektivisme dan konstruktivisme. Objektivisme menilai adanya jarak pada aktor sosial dengan fenomena sosialnya. Sedangkan konstruktivis melihat fenomena sosial terjadi karena adanya perilaku yang dilakukan oleh si aktor sosial, jadi pandangan ontologi ini melihat tidak adanya jarang yang berarti antara si aktor sosial dan fenomenanya, begitu juga dengan si peneliti jika akan meneliti.
Pada intinya, semu teori ini sangat berpengaruh pada pemilihan metode bagaimana cara pengumpulan data, pengolahannya, analisisnya, jenis, teknik dan alat untuk mendapatkan data tersebut yang berujung pada pemilihan kuantitatif atau kualitatif. Jika disimpulkan pada akhir review ini, kuantitatif cenderung untuk memakai pemikiran deduktif untuk menguji dan membuktikan teori yang dipakai di awal. Sedangkan kualitatif menggunakan induktif untuk menggunakan data-data yang ditemukan untuk menghimpun dan membuat satu teori baru. Dari sisi epistimploginya, kuantitatif akan lebih berat pada pandangan positivisme, sedangkan kualitatif dengan interprettivisme yang mengandalkan kemampuan masing-masing peneliti sebagai individu yang memiliki ke-subjektifisan dalam menginterpretasikan suatu gejala atau fenomena. Dan lewat pandangan ontologinya, kuantitatif lebih objktif dan kualitatif akan cenderung konstruktivis.
Metode juga sangat penting dengan didukung dengan adanya unsur nilai dan pemikiran kritis. Dimana sebagai peneliti, value free itu diharuskan. Tapi pada keadaan sesungguhnya, bebas nilai itu tidak akan pernah terjadi. Karena pada saat di lapangan, subjektifitas dalam diri akan mempengaruhi penilaian yang diyakini oleh si peneliti tersebut. Sedangkan pada pemikiran kritis, akan membantu pada objek sosial apa yang akan dijadikan bahan penelitian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar