Makalah
Pemikiran Politik Indonesia:
Pemikiran Nurcholish Madjid Sebelum Orde
Baru Mengenai Sekularisasi dan Liberalisasi
Oleh:
Yasinta Sonia Ariesti
NPM:
1006762612
1. LATAR BELAKANG
Perkembangan
politik di Indonesia dari zaman ke zaman telah mengalami banyak perubahan dan
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti lingkungan dan gejala alam yang terjadi
di Indonesia, dan juga para pemikir-pemikir politik di Indonesia dengan
pandangannya masing-masing yang membawa gagasan penuh ide untuk kebaikan dan
kemajuan bangsa Indonesia. Tapi tidak jarang dari beberapa gagasan dan
pemikiran yang dilahirkan dan berkembang luas di masyarakat menjadi polemik
tersendiri dan dianggap sebagai ancaman bahkan dianggap dapat menjerumuskan
massa dengan pemahaman dan pemikirannya.
Salah
satunya adalah Nurcholish Madjid yang terkenal dengan panggilan Cak Nur. Ia
muncul sebagai salah satu intelektual berlatar belakang dunia pesantren dengan
keluarganya yang pengikut setia Masyumi pada zaman itu. Cak Nur tidak menjadi
seorang intelektual yang patuh pada syariat dan tradisi agama yang dianut oleh
keluarga dan lingkungannya. Ia menjadi pemikir yang dapat memahami agama Islam
dengan bebas dan lebih terbuka, berbeda dengan banyak orang pada umumnya di
zaman itu yang masih mengikuti arus dari aliran-aliran atau paham Islam yang
menjadi identitas dari organisasi atau ormas-ormas yang berkembang pada saat
itu seperti yang tradisionalis dan mereka yang modernis.Hal tersebut dikarenakan
muslim di Indonesia dianggap bisa mengubah dan menjadi basis kekuatan penggerak
dan agen perubah nasib bangsa dengan potensi-potensi yang besar, dengan jumlah
penduduk muslim terbesar di Indonesia.
Cak
Nur juga dianggap sebagai pemikir Islam yang beraliran modernis, atau
neomodernis dengan pidatonya yang memperkenalkan istilah sekularisasi yang
menurutnya berbeda dengan sekularisme.[1] Pemikiran
ini nampak bertolak belakang dengan pandangan pada umumnya yang menyimpang dan
dianggap menjelekkan agama Islam itu mendapat banyak kecaman tapi juga dukungan
dari masyarakat luas, para ulama, dan para petinggi negara. Banyaknya
sumbangsih Cak Nur kepada bangsa dan negara Indonesia, pemikiran-pemikiran dan
latar belakang kehidupan—berikut dengan pengaruh orang-orang sekitarnya yang
membantu merekonstruksi pemikiran dari Cak Nur—yang memotivasi dan
melatarbelakangi penulis untuk membuat bahasan mengenai pemikiran-pemikiran
dari Nurcholish Madjid dan memaparkan relevansinya dengan keadaan Indonesia
saat ini.
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui buah pemikiran dari Nurcholish
Madjid—yang terkenal dan menjadi salah satu kekuatan Nurcholish untuk menjadi
salah satu pemikir yang diakui di Indonesia—dengan gagasan pembaruannya dengan
ide sekularisme yang mengusung dan mengedepankan kebebasan berpikir untuk
menghindari bangsa−utamanya umat muslim−dari kejumudan dan dekadensi pemikiran
yang pada zamannya tidak berkembang karena sangat terpaku pada kitab kuning
yang tekstual dan para kiyainya/pemuka agamanya.
Dalam
makalah ini, akan membahas masalah mengenai:
a. Apakah
pluralisme dan sekularisasi dalam hubungan negara dan agama menurut Nurcholish
Madjid sebelum masa orde baru?
b. Mengapa
pemikirannya menjadi salah satu pemikiran yang melandasi gerakan Islam Liberal
berikut pengaruhnya di Indonesia?
2.
RIWAYAT
HIDUP SANG INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID
Nurcholish
Madjid adalah nama yang didapatkan oleh Nurcholish sendiri saat berusia enam
tahun setelah sebeumnya bernama Abdul Malik yang diambil dari sifat-sifat Allah.
Perubahan ini terjadi karena dulu Nurcholish memiliki badan yang sring
sakit-sakitan dan dianggap keberatan nama (menurut tradisi Jawa)[2]
sehingga mengganti namanya menjadi Nurcholish Madjid. Nurcholish lahir di
Mojoanyar, Jombang tanggal 17 Maret 1939. Ayahnya bernama Abdul Madjid yang
seorang santri beraliran NU dan ibunya Hj.Fathanah. latar belakang sosialnya
yang lingkungan pesantren dengan suasana NU-nya yanng masih abangan[3]
karena implikasi dari pengaruh kerajaan Majapahit dan mulai mengalami
Islamisasi sejak pemerintahan kerjaan Mataram Islam di abad ke-16 ini,, mulai
memiliki madrasah-madrasah dan mesjid-masjid yang bertujuan untuk membangun
kawasan dengan Islam yang taat. Nucholish bersekolah di madrasah yang beralran
dan dimiliki oleh orang Masyumi, yang waktu itu adalah lawan dari basis dan
kancah pengaruh NU. Masuk ke masa saat Nurcholish berkuliah di IAIN Jakarta, ia
masuk dalam sebuah organisasi kepemudaan yang besar, yang merepresentasikan
dari sikap kepemudaan di Indonesia kala itu: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan
menjadi ketua umumnya selama dua periode. Di sinilah, ia mendapatkan pengarh
yang besar dari lingkungan beserta kawan-kawannya yang ada disana. Selain itu
juga, pergeseran pemikiran Nurcholish ke arah Islam yanglebih progresif adalah
karena hasil petualangan intelektualnya sendiri dengan buku-buku yang selalu
melekat dengan dirinya. Di HMI sendiri, ia menjadi perintis dari pemikiran
Sularso—ketua umum HMI Yogyakarta yang sering bentrok dengan orang-orang
Masyumi karena pertentangannya, sangat berbeda dalam menilai keadaan,
permasalaha, dan pandangannya terhadap cita-cita—bersama dengan kawannya yang
lain seperti Dawam Rahadjo, Djoko Prasodjo, Djohan, Mansur Hamid, dan lainnya.[4]
Ketertarikannya pada hal-hal yang humanis dan sosialisnya terjadi saat
kepulangannya ke tanah air dari Amerika untuk menghadiri sebuah undangan dari
kolega pada tahun 1968. Ia berkenalan dengan banyak orang dan mulai mengetahui,
bahkan mengenal apa yang ia benci selama ini:dunia barat. Ia pun menyadari
ketertutupannya selama ini adalah bumerang bagi dirinya sendiri dan menjadi
bahan introspeksi. Dengan kehadiran orang-orang seperti Sularso[5] di
HMI, sudah jelaslah orientasi pemikiran dari Nurcholish akhirnya bermuara di
semangat pembebasan.
3.
PEMIKIRAN
NUCHOLISH MADJID MENGENAI SEKULARISASI
Istilah
ini mulai populer sejak pidatonya yang ditampilkan di TIM (Taman Ismail
Marzuki) untuk keperluan forum antar pemuda pada tanggal 2 januari 1970. Bahan
pidato yang diambil dari makalah pemikirannya ternyata menimbulkan beragam
reaksi atas pemilihan kata-kata yang disampaikannya, seperti sekularisasi,
desakralisasi, sosialisme, idea of progress,
dan lain sebagainya. Kesalahan ini terjadi karena pada awalnya ia berfikir yang
datang dalam acara tersebut hanyalah kalangan pemuda terbatas pada empat
organisasi kepemudaan waktu itu saja ( PII, PERSAMI, HMI, dan GPI), dan
makalahnya maupun pidato beserta ide pembaruannya menjadi buah pembicaraan
sejak media cetak memuat pidatonya secara utuh. Sejak hari itulah, pemikiran
dan ide pembaharuan dan Nurcholish sendiri menjadi perbicangan. Secular sendiri berasal dari saeculum
yang berarti dunia atau masa kini (the present
age).[6]
Dalam
diskusi-diskusinya, Nurcholish lebih sering memakai istilah desakralisasi untuk
menyerukan pada umat muslim untuk berheni dari kebiasaannya menyucikan suatu
agama, yang memang tidak suci yang berkembang bentuknya menjadi organisasi dan
partai-partai. Nurcholish sering melihat adanya pengkultusan atau kefanatikan
yang dilakukan oleh umat muslim, diluar apakah organisasi maupun partau
tersebut bertindak baik atau buruk dalam menjalankan kegiatannya. Contohnya
adalah, partai yang berdasarkan Islam (NU, Masyumi, dan lain sebagainya) sangat
marak pada saat itu, dan warga yang tidak mendukung dan memilih partai-partai
itu disejajarkan dengan orang yang tidak beragama. Partai Islam disamakan
menjadi agama.
Istilah
ini juga didampingi oleh ‘sakralisasi’ untuk menggambarkan umat islam yang
tengah keluar dari tauhid, juga untuk mulai bisa membedakan, apa yang
seharusnya bersifat duniawi dan yang bukan, memandang modernisme bukan sebagai
westernisasi, modernisasi sebagai gejala global yang tidak bisa dihindari.[7] Ia
juga merasa adanya ketidakcocokan antara apa yang dibutuhkan masyarakat muslim,
dengan apa yang dibahas para pemimpinnya. Sekularisasi yang diusungnya berbeda
dengan sekularisme. Tidak dimaksudkan untuk mengubah kaum muslim menjadi umat yang
sekularis, tapi hanya berusaha untuk kembali menduniawikan nilai-nilai yang
sudah bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhowikannya[8]
[9]
Argumen selanjutnya adalah, di mana tindakan sekularisasi bukan dimaksudkan sebagai
penerapan sekularisme yang merupakan sebuah paham tersendiri dengan fungsi
hampir mendekati agama.[10]
Konsep sekularisasinya memang sedikit membingungkan, namun Nurcholish
bersikukuh bahwa ide yang diusungnya ini bukan merupakan pengkhianatan bagi agama
Islam dengan memisahkannya dari kehidupan politik dan sosial masyarakat muslim.
Tidak juga membuat anggapan bahwa agama tidak lagi dibutuhkan, tetapi agar
menjadi ada pembedaan anara yang duniawi dan yang bukan (urusan kesucian dan
urusan ketuhanan). Dengan kondisi umat muslim yang seperti itu, Nurcholish
menggagas kesetujuannya pada Islam, dan ketidaksetujuannya pada partai Islam,
“islam yes, partai islam no”. Dengan gerakan pembaruan inilah, kaum muslim
mulai menempati pos-pos politik dan meniti kariernya tidak hanya melalui partai
islam, tapi partai lainnya yang bukan berbasis islam.
Nurcholish
rajin datang dalam diskusi-diskusi yang mengusung tema berfikir secara luas dan
bebas. Ia juga menekankan arti penting berfikir bebas kepada pra kaum muda.
Mengapa? Kerena menurutnya, amat sayang jika para pemuda yang memiliki banyak
pandangan, pendapat, dan ide-ide yang liar dan unik untuk kebaikan bangsa ini
sampai terbatasi dan tak terfasilitasi. Ia menyerukan agar umat islam bisa
bangkit dari rasa merdeka yang semu ini, dimana keadaan yang sedang terjadi
menjadi nyaman di bidang kehidupan seperti sosial,ekonomi, dan politiknya. Umat
muslim mulai tidak menghiraukan ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat dan
sesamanya. Kemiskinan, pengangguran, menjadi hal yang dilewati begitu saja.
Faktor lain yang mendukung umat muslim pada kejumudan adalah dengan keharusan
mereka mendukung partai atau organisasi yang berbasis Islam. Jika tidak
mendukung, umat muslim akan dianggap aneh. Ditambah lagi dengan pengkultusan
yang dilakukan oleh umat kepada kiyai dan tokoh pemuka agama pada saat itu..
Ide
lainnya dari Nurcholish adalah sikap terbuka. Proses sekulerisasi yang diilhami
dari liberalisasi ini tentunnya menuntut dan akan menggiring umat muslim pada
perubahan-perubahan dalam kehidupan yang semakin modern. Umat akan menghadapi
pemikiran dan gaya hidup yang tidak akan lagi kaku, maka dari itu Nurcholish
adalah salah satu pemikir yang menggagas diperbolehkannya itjihad[11],
yang bisa dilakukan oleh siapapun asal ditunjang dengan ilmu, akal, sumber, dan
metode yang tepat untuk menghasilkan sebuah keputusan atau pandangan dalam
mengahadapi dunia modern. Umat tidak boleh lagi menutup mata pada hal-hal yang
modern tapi tidak juga mengabaikan agama itu sendiri. Agama berperan menjadi
alat penyaring, sehingga bisa menyesuaikan dengan kebutuhan agama. Maka dari
itu, Nurcholish sedikit tidak menyetujui Masyumi yang begitu fundamental dan
organisasi baru yang begitu modern seperti muhamadiyyah dan lainnya, ia
berusaha untuk berdiri di antara dua itu, mempertahankan sesuatu yang
fundamental, tapi terbuka pada kemodernan, percaya pada masa depan. Umat muslim
harus dengan pandai mengambil nilai-nilai duniawi yang baik, Nurcholish seperti
yang dikutip dalam buku Api Islam
Nurcholish Madjid karangan Ahmad Gaus, mengatakan orang yang tidak mau
terbuka pada perubahan adalah mereka yang “berdada sempit dan sesak bagaikan
orang yang beranjak ke langit”. Nurcholish dapat memprediksikan bagaimana
dunia akan berubah begitu cepat, dan ia
berharap pada umat muslim untuk tetap terbuka tanpa melupakan jubah keagamaan
yang telah dimiliki, karena suatu kaum yang hidup tanpa perubahan dan inovasi
adalah kaum yang terbelakang.
Dalam
urusan bernegara, sekularisasi ini dipandang sebagai pemisahan antara duniawi
dan akhirat. Sekularisasi lebih memilih untuk menyerahkan segala urusan
kehidupan sosial dan politiknya kepada seseorang yang betul-betuk handal di
bidangnya, tanpa terpengaruh oleh latar belakang agama apa yang dianutnya. Hal
tersebut dalam bernegara, masyarakat terhimpun dari bermacam-macam agama dan
keyakinan, yang tentunya membutuhkan sikap dan perilaku yang adil dari
pemimpinnya. Kalangan Kristen juga sempat mengkriktik sistem politik Islam.
Islam adalah sebuah sistem yang kaku. Islam dengan tidak memisahkan antara
agama dan politik, membuat yang suci dan sekuler tidak harus dipisahkan. Tidak
benar juga jika kedua hal itu dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya
dengan cara mengidentifikasikan sifat-sifat dasar dan hukum dari masing-masing
bidang tersebut. Lalu dapat juga ditunjukkan validitasnya yang dapat
diidentifikasi dengan mudah, maka dari itu ia juga mendukung beberapa tesis
dari para pemikir Islam klasik seperti Ibn Taymiyyah bahwa Muhammad bukanlah
seorang imam, tapi seorang utusan
tuhan.[12]
Seperti yang dijelaskan oleh Ibn Taymiyyah perbedaan antara ketaatan kepada
utusan Tuhan dan ketaatan pada imam:
“...jika dikatakan
bahwa ia (Nabi) ditaati karena beliau adalah seorang imam sebagai implikasi
dari kerasulannya, gagasan demikian tidak berpengaruh, sebab secara sederhana
kerasulan beliau saja sudah cukup memberi beliau hak untuk ditaati. Hal ini
berbeda dengan imam, karena sesorang dapat menjadi imam karena pangkatnya yang
letnan guna menjalankan kekuasannya. Jika tidak, ia akan sama saja dengan
ilmuwan atau agamawan biasa...”[13]
Pengaruh
Ibn Taymiyyah pada pemikiran sekularisasi Nurcholish memang sangat besar. Ini
dilandasi oleh ketertarikannya pada tokoh tersebut karena pemikirannya dianggap
sebagai sesuatu yang doktrinal bagi banyak sekali gerakan-gerakan pembaruan
Islam zaman modern. Baik yang fundamentalistik atau yang liberalistik dan
kritik Ibn Taymiyyah terhadap Kalam dan
Falsafah dilakukan dengan kompetensi yang baik dengan kemampuannya dalam
menguasai keilmuan Islam yang Hellenistik (seperti yang dikutip dalam salah
satu suratnya terhadap Muhammad Roem tertanggal 29 Maret 1983).[14] Maka
dari itu, Nurcholish membuat disertasinya di Universitas Chicago yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A
Problem of Reason and Revolution in Islam, dibawah bimbingan Doktor Fazlur
Rahman.
Argumen
pemikiran lainnya dari Nurcholish juga didukung dengan kesetujuannya dengan
pemikiran Hatta. Hatta dalam posisinya sebagai seorang sosialis dengan
lingkungan keluarga sufisme Islam yang kuat, melihat tidak perlunya didirikan
sebuah negara agama ataupun negara dengan landasan resminya adalah sebuah agama.
Yang terpenting adalah substansinya yang harus diperjuangkan dalam kegiatan
bernegara.[15]
Kritik
lain yang datang mengenai konsep bernegara yang digagasnya, ia dikritik oleh
Abdul Qadir Jaelani, Endang, dan Ismail Hasan[16]
yang menganggapnya ingin menghapuskan nilai agama dalam kehidupan sosial dan
politik, tapi tidak sedikit juga yang menentang pemikiran dan ide
pembaharuannya.
Ide
mengenai sekulerisasi ini masih menggema sampai dua puluh tahun kemudian.
Hingga di tempat yang sama pada tanggal 21 Oktober 1992, ide ini semakin dipertegas
dengan pernyataannya atas penolakan terhadap negara islam dan slogan ‘islam
yes, partai islam no’ yang dikemukakannya dua puluh tahun sebelum itu. Ia mengemban
misi untuk menjadikan Islam kembali sebagai agama yang universal, tidak
eksklusif dan terikat pada sistem kepartaian dan organisasi. Nurcholish datang
kembali dengan pernyataan-pernyataan yang lebih tajam dan lugas untuk
memperkuat semua idenya yang lalu dan mengingat kondisi awal di orde baru yang
penuh polemik. Tidak banyak yang berubah dari pemikiran Nurcholish dalam
bernegara dari sebelum dan di awal orde baru Ia tetap menjunjung kebebasan
berfikir, dan penolakannya terhadap pengkultusan partai-partai islam yang tidak
visioner, cenderung takut pada masa depan, dan terkesan tidak menghargai
sejarah, tidak percaya pada masa lalu islam yang pernah bangkit dari puing-puing
sisa peradaban bangsa lain seperti Yunani dan Romawi.
Ide
penolakan Negara Islam ini sudah muncul sehari setelah hari kemerdekaan,
Nurcholish melihat dan kembali pada konsteks tersebut karena pada saat itu
tengah terjadi polemik sendiir antar kalangan Islam yaitu Nasionalis muslim dan
naionalis sekuler yang tengah merumuskan ideologi dan pedoman bangsa,
Pancasila, UUD 1045, atau Piagam Jakarta. Dukungannya terhadap sekulerisme
terlihat pada beberapa tulisannya. Salah satunya dengan menolak didirikannya
Departemen Agama pada September 1945. Penolakan tersebut dikarenakan bahwa ia
merasa didirikannya departemen ini hanya untuk menegaskan secara tersirat pada
seluruh masyarakat Indonesia bahwa Islam adalah agama negara Republik ini.[17] Argumen
lainnya adalah departemen ini dianggap mengarahkan konsep negara menjadi
Pancasila, bertentangan dengan prinsip toleransi dalam beragama dan menjalin
hubungan politik negara terkait antar agama yang ada. ia menginginkan
departemen ini berubah nama menjadi Departemen Keagamaan karena berarti
departemen menjadi milik bersama kepunyaan agama-agama yang diakui secara resmi
di Indonesia, jika dibandingkan dengan departemen agama yang hanya mencerminkan
satu agama yang diatur dan dakui. Ia sangat menekankan adanya toleransi antar
umat demi keberagaman pemikiran yang kaya dan diharapkan umat muslim bisa
menjadi lebih terbuka dalam menghadapi perbedaan dan lebih bijak dalam berfikir
untuk menghindari kejumuddan.
4.
PEMIKIRAN
NURCHOLIS MADJID MENGENAI LIBERALISASI
Nurcholish,
seperti yang telah disampaikan sebelumnya, mulai menjadi seorang tokoh
pembaruan di Indonesia semenjak ia berceramah dengan kapasitasnya sebagai ketua
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) saat itu pada tanggal 3 Januari 1970 di sebuah acara
halal bi halal di Jakarta. Bermodalkan bahan ceramah yang berasal dari
makalahnya dengan judul “Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam Dan Masalah Integrasi Umat”[18]
di TIM (Taman Ismail Marzuki). Ia menuntut liberalisasi, sekularisasi,
kebebasan intelektual, the idea of progress
atau gagasan kemajuannya, dan ia juga menelurkan ide pentingnya adanya sebuah
kelompok pembaharu yang berhaluan liberal dengan gagasan keterbukaannya.[19]
Pemikiran
pokok dari Nurcholish yang utama adalah mengenai pembaruan. Termasuk didalamnya
liberalisasi, yang mana proses tersebut dapat dicapai dengan sekulerisme yang didukung dengan kebebasan dan keterbukaannya. Banyak
kalangan yang mengatakan bahwa pemikiran liberalisasi Nurcholish muncul setelah
kepulangannya dari Amerika Serikat pada tahun 1969 selama lima pekan berada
disana untuk sebuah acara. Salah satunya adalah pengamat dan tokoh HMI muda,
Ahmad Wahib. Nurcholish yang begitu fundamental dan keras pada produk barat,
menjadi lebih terbuka dan cenderung pro pada barat. Bahkan di tahun 1992, ia
berceramah di TIM mengenai fundamentalis dan mengecamnya, menuturkan berbagai
bahayanya, mengecam dan mengutuknya—terutama fundamentalisme Islam[20]
—dan berusaha membangun pandangan Islam
yang dapat bertahan di masa modern ini.
Gagasan
Liberalisasi yang diiringi gerakan pembaruan tersebut dilatarbelakangi
pemikirannya bahwa kelompok pembaruan Islam yang sudah ada dirasa kurang bisa
membuat suatu perubahan maupun pembaruan pada dunia Islam dan kegiatan
bernegara. Ia mengganggap tiga organissasai Islam terbesar pada saat itu yaitu
Muhammadiyah, Al-Irsya, dan Persis yang mengklaim dirinya sebagai organisasi
pembaru, malah berhenti bergerak dalam pembaruan tanpa bisa membawa semangat
“ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan islam liberal yang ada sekarang”[21], atau
dalam kata lain tidak bisa menangkap semangat dari ide pembaru seperti dinamika
dan progresivitas. Liberalisasi adalah kebebasan untuk meninggalkan umat muslim
di Indonesia yang stagnan dalam pergerakan, cenderung malas untuk berinovasi
dan pasrah menerima keputusan yang dibuat oleh para petinggi agamanya, tidak
berani berpendapat dan tidak berani berfikir bebas yang membuat umat muslim
menjadi miskin dalam inovasi dan menelurkan ide-ide kebangsaannya dan berfikir
dimanakah umat muslim harus menempatkan dan menyesuaikan dirinya sesuai dengan
perubahan, Islam itu statis, sedang pemahamannya sosiologis dinamis.[22]
Islam
dan Nurcholish telah menjadi satu kombinasi yang unik dalam prosesnya melahirkan pembaruan. Islam sebagai bahan baku
yang harus diolah dengan segala fenomenanya dan Nurcholish dengan akalnya
menjadi sebuah perangkat alat yang mampu melihat masa depan umat islam dari
kacamata seorang agamawan yang modern, berwawasan luas dan melihat secara utuh
islam dari atas sampai bawah, dari luar dan dalam. Padanan yang dilengkapi
dengan manual sosio-historis dari Nurcholish sendiri yang sarat dengan dunia
Islam tradisional telah menjadikan pembaruannya pedoman bagi gerakan liberal
islam sekarang ini. mereka, para kalangan muda ini adalah kaum yang bosan
dengan kemunduran dan kemalasan kalangan Islam di Indonesia. Kalangan muda ini
akhirnya membentuk sebuah gerakan, Islam yang membebaskan dengan bendera
Jaringan Islma Liberal (JIL) berhasil menjadi sorotan masyarakat tanah air,
dari awam sampai cendekiawan dan intelektualitas.
Mereka
melihat pemikiran Nurcholish Madjid dengan julukan “Penarik Gerbong Kaum
Pembaharu” oleh Majalah Tempo pada tahun 1970an sebagai manual utama untuk
menggerakan perubahan yang berarti dengan caranya sendiri dengan tujuan untuk
menghentikan gerakan Islam Fundamentalis dan Islam Militan yang dinilai
mengancam akan keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Diskusi adalah sarana
yang efektif untuk menyebarkan semangat mereka, didukung dengan tokoh-tokoh
dari dalam JIL sendiri yang telah mendapat perhatian oleh kalangan luas dan
tokoh luar dari JIL yang serta mendukung kebebasan Islam. Sebenarnya,
pengharaman ide sekularisme, liberalisme, dan pluralisme oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) secara tidak langsung ditujukan pada pikiran-pikiran JIL ini,
dan secara tidak langsung keada siapa saja dan lembaga Islam manapun yang
mengembangkan pemikiran-pemikiran ini dalam konteks teologi Islam.[23]
Pemikiran
lain dari Nurcholish yang disetujui oleh JIL sendiri selain kebebasannya adalah
bagaimana kelompok ini memandang modernisme. Modern adalah jika bersifat
ilmiah, rasional dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam[24],
dengan ilmu pengetahuanlah manusia dapat berfikir rasional dengan dibantu cara
berfikir yang islami, berorietasi dengan nilai-nilai besar islam. Modernisasi
janganlah dianggap sebagai ketakutan tetapi haruslah disambut sebagai seuatu
hal yang pasti terjadi di kehidupan yang nyata, dan umat sebagai umat muslim
dengan kitabnya yang tak lekang oleh zaman dan waktu haruslah tteap fleksibel
dan menerima perubahan-perubahan dalam perilaku sosial masyarakat yang
diprngaruhi oleh dunia barat itu, modernisasi berarti berpikir dan bekerja yang
maksimal guna kebahagiaan umat manusia dengan cara mencapai rasionalisasi dalam
menggapai ilmu pengetahuan.[25]
Buah
dari pemikiran Nurcholish memang tidak hanya diadaptasi oleh JIL, tetai masih
banyak lagi seperti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
The Wahid Indtitute, Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia *(LAKPESDAM) NU,
Jaringan Intelektual Muda Muhamadiyyah (JIMM), lembaga-lembaga kajian dan
pergerakan lainnya yang berbasiskan pembaruan, modernitas dan semangat
pembebasan Nurcholish yang sangta terkenal itu dan sampai sekarang pun
kelompok-kelompok itu masih bergerak atas nafas dan semangat positif demi
membawa umat yang lebih baik lagi
5.
KESIMPULAN
Sebelum
zaman Orde Baru, Nurcholish adalah seorang pemikir yang berani keluar dari pemikiran
mainstream umat muslim lainnya dari banyak kawan segenarisnya yang sama-sama
memiliki kesadaran bahwa umat muslim di Indonesia telah pada titik dimana tidak
ada lagi kemajuan, stagnan dan terperangkam dalam kejumuddan. Pemikiran
mengenai pembaharuannya yang membuahkan konsep sekularisasi dan libralisasinya
banyak dipengaruhi oleh kegiatan keorganisasiannya di Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), dimana Nurcholish sempat menjadi ketua umumnya untuk dua periode, berkat
lingkungan keluarganya dimana kedua orangtuanya adalah orang NU yang taat, dan
berkat petualangan intelektualnya di Benua Amerika sana untuk sekedar bertemu
dengan para tokoh, kolega dan untuk menyelesaikan kuliah doktorlnya di
Universitas Chicago dan menjadi doktor di bidang Ilmu Politik.
Liberalisasi
dan Sekulerisasinya menjadi sorotan yan menarik kala sebelum Orde Baru karena
pada saat itu belum ada yang seberani Nurcholish unuk mengungkapkan ide-ide
itu. Ide-idenya di anggap gila dan tidak pantas untuk diutarakan dihadapan peserta
seminar kala itu yang akhirnya dimuat di surat kabar nasional dan mulai menjadi
buah bibir, pertanyaan muncul seperti apakah sekularisasi itu? Mengapa harus
bebas? Siapakah Nurcholish Madjid itu?
Pro
dan kontra datang pada Nurcholish dan kawan-kawannya yang mengusung ide
pembaruan tersebut, ada yang mengecamnya sebagai penghianat agama tapi banyak
juga yang memuji pikiran cemerlang dan kesadarannya itu terhadap keadaan bangsa
saat itu. Sampai akhir hayatnya, Nurcholish berhasil membuat suatu lembaga yang
bergerak di bidang pendidikan yaitu Universitas Paramadina. Selain pendidikan,
Paramadina juga aktif dalam kegiatan penerbitan buku-buku yang berkualitas
untuk suplemen pemikiran bangsa. Kembali ke pokok pemikiran Nurcholish mengenai
konsep sekuler dan berfikirnya yang liberal, ia terkesan terlalu memaksakan
idenya kepada masyarakat luas untuk menerima konsep ini. jika dilihat dari segi
konteks pada saat itu, ide pembaruan itu memang sangat menggambarkan kondisi
keterpurukan umat Islam di Indonesia, tapi yang kurang berkenan adalah cara
dari Nurcholish yang mengagetkan dengan istilah-istilah yang belum dan tidak
banyak orang yang paham sehingga menibulkan kegegeran massa secara domino
effect. Istilah-isltilah dan padanan frasa seperti sekularisasi, desakralisasi,
liberalisasi, modernitas, dan banyak lagi yang tidak biasa di dengar oleh
masyarakat waktu itu di tahun 1970an.
Jika
saja penyampaiannya bisa dikompromikan dulu dengan kawan-kawan sejawatnya di
HMI yang memiliki pandangan sama dalam pembaruan dan menyusun strategi dalam
penyebaran ide itum mungkin kecaman yang terus membombardir Nurcholish dan
kawan-kawan sampai selama duapuluh tahun lebih akan sdikit berkurang.
Pemikirannya tidak lekang dengan waktu dan ia aalh seorang pemikir yang
konsisten mengenai ide pembaruannya sampai di akhir hayatnya. Dalam pidato dan
ceramah-ceramahnya (kecuali pada ceramah jumat atau kagamannya—Nurcholish tidak
pernah menyampaikan ceramah dengan substansi politis atau menyangkut dengan
urusan negara karena ia berprinsip, alam ceramah seperti itu haruslah hanya hal
yang menyangkut akidahlah yang disampaikan—) ia tetap berbicara tentang
aufklarung di dunia Islam dan Indonesia meski beberapa istilah terlihat
dihilangkan untk menciptakan keadaan yang damai.
Sebuah
warisan pemikiran yang tetap terjaga yang telah diberikan oleh seorang
Nurcholish Madjid pada bangsa dan generasi berikutnya yang harus dijaga dan
tetap menyala demi Indonesia yang lebih baik, sebuah pemikiran dari kehidupan
Nurcholish yang visioner di zamannya. Semangat kebebasan yang berlandaskan
agama Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahan
bacaan utama:
Efendi,
Djohan Dan Ismed Natsir. Pergerakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES. 1981
Gaus,
Ahmad. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan
Hidup Seorang Visioner. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. 2010
Husaini,
Adian Dan Nuim Hidayat. Islam Liberal:
Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, Dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani.2004
Madjid,
Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan.
Jakarta: Paramadina. 1995
Madjid,
Nurcholish. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan
Pustaka. 2008
Bahan bacaan tambahan:
Assyaukanie,
Luthfie. Islam and the Secular State.
Pasir Panjang: ISEAS Publication. 2009
Geertz,
Cliffort. The Religion of Java.
London: The Free Press. 1976
Rachman,
Budhy Munawar. Sekularisme, Liberalisme,
dan Pluralisme. Jakarta: PT. Ikapi. 2010
Website:
“Kerancuan Pemikiran Cak Nur” http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2010/02/02/1656/Kerancuan-Pemikiran-Cak-Nur
“Revolusi
Nurcholish Madjid” Oleh R. William Liddle http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/09/05/KL/mbm.20050905.KL116469.id.html
[1] Adian
Husaini, M.A dan Nuim Hidayat. Islam
Liberal: sejarah, konsepsi, penyimpangan, dan jawabannya. Jakarta: Gema
Insani. 2004. Hal 30.
[2] Ahmad
Gaus. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan
Hidup seorang visioner. Jakarta: Kompas. 2010. Hal.2
[3] Abangan
adalah suatu konsep dari Clifford Geertz mengenai penganut agama Islam di Jawa
dimana kaum abangan adalah mereka yang memeluk agama Islam di pedesaan tapi tidak sempurna dalam
menjalankan perintah agamanya. Lihat Cliffort Geertz. The Religion of Java. London: The Free Press. 1976
[4]
Djohan Efendi Dan Ismed Natsir. Pergerakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES. 1981 hal 147
[5] Larso
adalah seorang mantan ketua HMI Yogjakarta dengan pemikirannya yang sangat
radikal dan memiliki peran penting dalam perkembangan HMI sendiri. Ia memiliki
kedekatan intelektual dengan Nurcholish dan pemikiran-pemikirannya juga
memiliki andil tersendiri terhadap liberalisasi Nurcholish.
[6] Djohan
Efendi Dan Ismed Natsir. Op,cit. hal
82
[7]
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2010/02/02/1656/Kerancuan-Pemikiran-Cak-Nur diakses 17 November 2011
[8]Husaini.
Op,cit. Hal 56
[9] Uhrawi adalah mengenai akhirat: yg
bersifat duniawi ataupun yg bersifat; memberi kebahagiaan duniawi – menduniakan sesuatu. (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses
pada 30 Desember 2011)
[10] Nurcholish
Madjid. Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka. 2008, hal 249
[11] Itjihad
adalah usaha sungguh-sungguh yg dilakukan para ahli agama untuk
mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yg
penyelesaiannya belum tertera dl Alquran dan sunnah
(http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
diakses pada 30 Desember 2011)
[12] Nurcholish
Madjid. Islam Agama Kemanusiaan.
Jakarta: Paramadina. 1995. Hal 17
[13] Ibn
Taymiyyah. Minhaj al-Sunnah fi Naqd Kalam al-Syiah wa al-Qaddariyyah, 4 volumes
(Riad: Maktrabat al-Riyad al-Hadithah, tt), vol.1, 22-3 dalam ibid. hal 18
[14] Gaus. Op,cit. hal 147
[15]
Madjid. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan. Op,cit.
Hal 20
[16] Gaus. Op,cit. hal 109
[17]
Madjid, Nurcholish. Islam Agama
Kemanusiaan. Op.cit. hal 6
[18]
Husaini. Op,cit. hal 30
[19] Revolusi Nurcholish Madjid oleh R.William
Liddle. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/09/05/KL/mbm.20050905.KL116469.id.html pada 17 November 2011
[20] Husaini.
Op,cit. hal 32
[21] Gaus. Op,cit. hal 99
[22] Djohan
Efendi Dan Ismed Natsir. Op,cit. Hal
19
[23] Lihat
“Fenomena JIL” dan “Fatwa MUI dan Gerakan Anti-JIL” dalam Syafiq Hasyim,
Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme di Indonesia (Jakarta:ICIP, 2007), h.
35-42 yang dikutip dalam Budhy Munawar-Rachman. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Hal 27
[24]Madjid.
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Op,cit.
hal 180
[25] Ibid. hal 182
Tidak ada komentar:
Posting Komentar