Minggu, 12 Agustus 2012

PPI-Nurcholish Madjid



Makalah Pemikiran Politik Indonesia:
Pemikiran Nurcholish Madjid Sebelum Orde Baru Mengenai Sekularisasi dan Liberalisasi
Oleh: Yasinta Sonia Ariesti
NPM: 1006762612
1. LATAR BELAKANG
Perkembangan politik di Indonesia dari zaman ke zaman telah mengalami banyak perubahan dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti lingkungan dan gejala alam yang terjadi di Indonesia, dan juga para pemikir-pemikir politik di Indonesia dengan pandangannya masing-masing yang membawa gagasan penuh ide untuk kebaikan dan kemajuan bangsa Indonesia. Tapi tidak jarang dari beberapa gagasan dan pemikiran yang dilahirkan dan berkembang luas di masyarakat menjadi polemik tersendiri dan dianggap sebagai ancaman bahkan dianggap dapat menjerumuskan massa dengan pemahaman dan pemikirannya.
Salah satunya adalah Nurcholish Madjid yang terkenal dengan panggilan Cak Nur. Ia muncul sebagai salah satu intelektual berlatar belakang dunia pesantren dengan keluarganya yang pengikut setia Masyumi pada zaman itu. Cak Nur tidak menjadi seorang intelektual yang patuh pada syariat dan tradisi agama yang dianut oleh keluarga dan lingkungannya. Ia menjadi pemikir yang dapat memahami agama Islam dengan bebas dan lebih terbuka, berbeda dengan banyak orang pada umumnya di zaman itu yang masih mengikuti arus dari aliran-aliran atau paham Islam yang menjadi identitas dari organisasi atau ormas-ormas yang berkembang pada saat itu seperti yang tradisionalis dan mereka yang modernis.Hal tersebut dikarenakan muslim di Indonesia dianggap bisa mengubah dan menjadi basis kekuatan penggerak dan agen perubah nasib bangsa dengan potensi-potensi yang besar, dengan jumlah penduduk muslim terbesar di Indonesia.
Cak Nur juga dianggap sebagai pemikir Islam yang beraliran modernis, atau neomodernis dengan pidatonya yang memperkenalkan istilah sekularisasi yang menurutnya berbeda dengan sekularisme.[1] Pemikiran ini nampak bertolak belakang dengan pandangan pada umumnya yang menyimpang dan dianggap menjelekkan agama Islam itu mendapat banyak kecaman tapi juga dukungan dari masyarakat luas, para ulama, dan para petinggi negara. Banyaknya sumbangsih Cak Nur kepada bangsa dan negara Indonesia, pemikiran-pemikiran dan latar belakang kehidupan—berikut dengan pengaruh orang-orang sekitarnya yang membantu merekonstruksi pemikiran dari Cak Nur—yang memotivasi dan melatarbelakangi penulis untuk membuat bahasan mengenai pemikiran-pemikiran dari Nurcholish Madjid dan memaparkan relevansinya dengan keadaan Indonesia saat ini.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui buah pemikiran dari Nurcholish Madjid—yang terkenal dan menjadi salah satu kekuatan Nurcholish untuk menjadi salah satu pemikir yang diakui di Indonesia—dengan gagasan pembaruannya dengan ide sekularisme yang mengusung dan mengedepankan kebebasan berpikir untuk menghindari bangsa−utamanya umat muslim−dari kejumudan dan dekadensi pemikiran yang pada zamannya tidak berkembang karena sangat terpaku pada kitab kuning yang tekstual dan para kiyainya/pemuka agamanya.
Dalam makalah ini, akan membahas masalah mengenai:
a.       Apakah pluralisme dan sekularisasi dalam hubungan negara dan agama menurut Nurcholish Madjid sebelum masa orde baru?
b.      Mengapa pemikirannya menjadi salah satu pemikiran yang melandasi gerakan Islam Liberal berikut pengaruhnya di Indonesia?

2.      RIWAYAT HIDUP SANG INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID
Nurcholish Madjid adalah nama yang didapatkan oleh Nurcholish sendiri saat berusia enam tahun setelah sebeumnya bernama Abdul Malik yang diambil dari sifat-sifat Allah. Perubahan ini terjadi karena dulu Nurcholish memiliki badan yang sring sakit-sakitan dan dianggap keberatan nama (menurut tradisi Jawa)[2] sehingga mengganti namanya menjadi Nurcholish Madjid. Nurcholish lahir di Mojoanyar, Jombang tanggal 17 Maret 1939. Ayahnya bernama Abdul Madjid yang seorang santri beraliran NU dan ibunya Hj.Fathanah. latar belakang sosialnya yang lingkungan pesantren dengan suasana NU-nya yanng masih abangan[3] karena implikasi dari pengaruh kerajaan Majapahit dan mulai mengalami Islamisasi sejak pemerintahan kerjaan Mataram Islam di abad ke-16 ini,, mulai memiliki madrasah-madrasah dan mesjid-masjid yang bertujuan untuk membangun kawasan dengan Islam yang taat. Nucholish bersekolah di madrasah yang beralran dan dimiliki oleh orang Masyumi, yang waktu itu adalah lawan dari basis dan kancah pengaruh NU. Masuk ke masa saat Nurcholish berkuliah di IAIN Jakarta, ia masuk dalam sebuah organisasi kepemudaan yang besar, yang merepresentasikan dari sikap kepemudaan di Indonesia kala itu: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan menjadi ketua umumnya selama dua periode. Di sinilah, ia mendapatkan pengarh yang besar dari lingkungan beserta kawan-kawannya yang ada disana. Selain itu juga, pergeseran pemikiran Nurcholish ke arah Islam yanglebih progresif adalah karena hasil petualangan intelektualnya sendiri dengan buku-buku yang selalu melekat dengan dirinya. Di HMI sendiri, ia menjadi perintis dari pemikiran Sularso—ketua umum HMI Yogyakarta yang sering bentrok dengan orang-orang Masyumi karena pertentangannya, sangat berbeda dalam menilai keadaan, permasalaha, dan pandangannya terhadap cita-cita—bersama dengan kawannya yang lain seperti Dawam Rahadjo, Djoko Prasodjo, Djohan, Mansur Hamid, dan lainnya.[4] Ketertarikannya pada hal-hal yang humanis dan sosialisnya terjadi saat kepulangannya ke tanah air dari Amerika untuk menghadiri sebuah undangan dari kolega pada tahun 1968. Ia berkenalan dengan banyak orang dan mulai mengetahui, bahkan mengenal apa yang ia benci selama ini:dunia barat. Ia pun menyadari ketertutupannya selama ini adalah bumerang bagi dirinya sendiri dan menjadi bahan introspeksi. Dengan kehadiran orang-orang seperti Sularso[5] di HMI, sudah jelaslah orientasi pemikiran dari Nurcholish akhirnya bermuara di semangat pembebasan.

3.      PEMIKIRAN NUCHOLISH MADJID MENGENAI SEKULARISASI
Istilah ini mulai populer sejak pidatonya yang ditampilkan di TIM (Taman Ismail Marzuki) untuk keperluan forum antar pemuda pada tanggal 2 januari 1970. Bahan pidato yang diambil dari makalah pemikirannya ternyata menimbulkan beragam reaksi atas pemilihan kata-kata yang disampaikannya, seperti sekularisasi, desakralisasi, sosialisme, idea of progress, dan lain sebagainya. Kesalahan ini terjadi karena pada awalnya ia berfikir yang datang dalam acara tersebut hanyalah kalangan pemuda terbatas pada empat organisasi kepemudaan waktu itu saja ( PII, PERSAMI, HMI, dan GPI), dan makalahnya maupun pidato beserta ide pembaruannya menjadi buah pembicaraan sejak media cetak memuat pidatonya secara utuh. Sejak hari itulah, pemikiran dan ide pembaharuan dan Nurcholish sendiri menjadi perbicangan. Secular sendiri berasal dari saeculum yang berarti dunia atau masa kini (the present age).[6]
Dalam diskusi-diskusinya, Nurcholish lebih sering memakai istilah desakralisasi untuk menyerukan pada umat muslim untuk berheni dari kebiasaannya menyucikan suatu agama, yang memang tidak suci yang berkembang bentuknya menjadi organisasi dan partai-partai. Nurcholish sering melihat adanya pengkultusan atau kefanatikan yang dilakukan oleh umat muslim, diluar apakah organisasi maupun partau tersebut bertindak baik atau buruk dalam menjalankan kegiatannya. Contohnya adalah, partai yang berdasarkan Islam (NU, Masyumi, dan lain sebagainya) sangat marak pada saat itu, dan warga yang tidak mendukung dan memilih partai-partai itu disejajarkan dengan orang yang tidak beragama. Partai Islam disamakan menjadi agama.
Istilah ini juga didampingi oleh ‘sakralisasi’ untuk menggambarkan umat islam yang tengah keluar dari tauhid, juga untuk mulai bisa membedakan, apa yang seharusnya bersifat duniawi dan yang bukan, memandang modernisme bukan sebagai westernisasi, modernisasi sebagai gejala global yang tidak bisa dihindari.[7] Ia juga merasa adanya ketidakcocokan antara apa yang dibutuhkan masyarakat muslim, dengan apa yang dibahas para pemimpinnya. Sekularisasi yang diusungnya berbeda dengan sekularisme. Tidak dimaksudkan untuk mengubah kaum muslim menjadi umat yang sekularis, tapi hanya berusaha untuk kembali menduniawikan nilai-nilai yang sudah bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhowikannya[8] [9] Argumen selanjutnya adalah, di mana tindakan sekularisasi bukan dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme yang merupakan sebuah paham tersendiri dengan fungsi hampir mendekati agama.[10] Konsep sekularisasinya memang sedikit membingungkan, namun Nurcholish bersikukuh bahwa ide yang diusungnya ini bukan merupakan pengkhianatan bagi agama Islam dengan memisahkannya dari kehidupan politik dan sosial masyarakat muslim. Tidak juga membuat anggapan bahwa agama tidak lagi dibutuhkan, tetapi agar menjadi ada pembedaan anara yang duniawi dan yang bukan (urusan kesucian dan urusan ketuhanan). Dengan kondisi umat muslim yang seperti itu, Nurcholish menggagas kesetujuannya pada Islam, dan ketidaksetujuannya pada partai Islam, “islam yes, partai islam no”. Dengan gerakan pembaruan inilah, kaum muslim mulai menempati pos-pos politik dan meniti kariernya tidak hanya melalui partai islam, tapi partai lainnya yang bukan berbasis islam.
Nurcholish rajin datang dalam diskusi-diskusi yang mengusung tema berfikir secara luas dan bebas. Ia juga menekankan arti penting berfikir bebas kepada pra kaum muda. Mengapa? Kerena menurutnya, amat sayang jika para pemuda yang memiliki banyak pandangan, pendapat, dan ide-ide yang liar dan unik untuk kebaikan bangsa ini sampai terbatasi dan tak terfasilitasi. Ia menyerukan agar umat islam bisa bangkit dari rasa merdeka yang semu ini, dimana keadaan yang sedang terjadi menjadi nyaman di bidang kehidupan seperti sosial,ekonomi, dan politiknya. Umat muslim mulai tidak menghiraukan ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat dan sesamanya. Kemiskinan, pengangguran, menjadi hal yang dilewati begitu saja. Faktor lain yang mendukung umat muslim pada kejumudan adalah dengan keharusan mereka mendukung partai atau organisasi yang berbasis Islam. Jika tidak mendukung, umat muslim akan dianggap aneh. Ditambah lagi dengan pengkultusan yang dilakukan oleh umat kepada kiyai dan tokoh pemuka agama pada saat itu..
Ide lainnya dari Nurcholish adalah sikap terbuka. Proses sekulerisasi yang diilhami dari liberalisasi ini tentunnya menuntut dan akan menggiring umat muslim pada perubahan-perubahan dalam kehidupan yang semakin modern. Umat akan menghadapi pemikiran dan gaya hidup yang tidak akan lagi kaku, maka dari itu Nurcholish adalah salah satu pemikir yang menggagas diperbolehkannya itjihad[11], yang bisa dilakukan oleh siapapun asal ditunjang dengan ilmu, akal, sumber, dan metode yang tepat untuk menghasilkan sebuah keputusan atau pandangan dalam mengahadapi dunia modern. Umat tidak boleh lagi menutup mata pada hal-hal yang modern tapi tidak juga mengabaikan agama itu sendiri. Agama berperan menjadi alat penyaring, sehingga bisa menyesuaikan dengan kebutuhan agama. Maka dari itu, Nurcholish sedikit tidak menyetujui Masyumi yang begitu fundamental dan organisasi baru yang begitu modern seperti muhamadiyyah dan lainnya, ia berusaha untuk berdiri di antara dua itu, mempertahankan sesuatu yang fundamental, tapi terbuka pada kemodernan, percaya pada masa depan. Umat muslim harus dengan pandai mengambil nilai-nilai duniawi yang baik, Nurcholish seperti yang dikutip dalam buku Api Islam Nurcholish Madjid karangan Ahmad Gaus, mengatakan orang yang tidak mau terbuka pada perubahan adalah mereka yang “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit”. Nurcholish dapat memprediksikan bagaimana dunia  akan berubah begitu cepat, dan ia berharap pada umat muslim untuk tetap terbuka tanpa melupakan jubah keagamaan yang telah dimiliki, karena suatu kaum yang hidup tanpa perubahan dan inovasi adalah kaum yang terbelakang.
Dalam urusan bernegara, sekularisasi ini dipandang sebagai pemisahan antara duniawi dan akhirat. Sekularisasi lebih memilih untuk menyerahkan segala urusan kehidupan sosial dan politiknya kepada seseorang yang betul-betuk handal di bidangnya, tanpa terpengaruh oleh latar belakang agama apa yang dianutnya. Hal tersebut dalam bernegara, masyarakat terhimpun dari bermacam-macam agama dan keyakinan, yang tentunya membutuhkan sikap dan perilaku yang adil dari pemimpinnya. Kalangan Kristen juga sempat mengkriktik sistem politik Islam. Islam adalah sebuah sistem yang kaku. Islam dengan tidak memisahkan antara agama dan politik, membuat yang suci dan sekuler tidak harus dipisahkan. Tidak benar juga jika kedua hal itu dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya dengan cara mengidentifikasikan sifat-sifat dasar dan hukum dari masing-masing bidang tersebut. Lalu dapat juga ditunjukkan validitasnya yang dapat diidentifikasi dengan mudah, maka dari itu ia juga mendukung beberapa tesis dari para pemikir Islam klasik seperti Ibn Taymiyyah bahwa Muhammad bukanlah seorang imam, tapi seorang utusan tuhan.[12] Seperti yang dijelaskan oleh Ibn Taymiyyah perbedaan antara ketaatan kepada utusan Tuhan dan ketaatan pada imam:
“...jika dikatakan bahwa ia (Nabi) ditaati karena beliau adalah seorang imam sebagai implikasi dari kerasulannya, gagasan demikian tidak berpengaruh, sebab secara sederhana kerasulan beliau saja sudah cukup memberi beliau hak untuk ditaati. Hal ini berbeda dengan imam, karena sesorang dapat menjadi imam karena pangkatnya yang letnan guna menjalankan kekuasannya. Jika tidak, ia akan sama saja dengan ilmuwan atau agamawan biasa...”[13]
Pengaruh Ibn Taymiyyah pada pemikiran sekularisasi Nurcholish memang sangat besar. Ini dilandasi oleh ketertarikannya pada tokoh tersebut karena pemikirannya dianggap sebagai sesuatu yang doktrinal bagi banyak sekali gerakan-gerakan pembaruan Islam zaman modern. Baik yang fundamentalistik atau yang liberalistik dan kritik Ibn Taymiyyah terhadap Kalam dan Falsafah dilakukan dengan kompetensi yang baik dengan kemampuannya dalam menguasai keilmuan Islam yang Hellenistik (seperti yang dikutip dalam salah satu suratnya terhadap Muhammad Roem tertanggal 29 Maret 1983).[14] Maka dari itu, Nurcholish membuat disertasinya di Universitas Chicago yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revolution in Islam, dibawah bimbingan Doktor Fazlur Rahman.
Argumen pemikiran lainnya dari Nurcholish juga didukung dengan kesetujuannya dengan pemikiran Hatta. Hatta dalam posisinya sebagai seorang sosialis dengan lingkungan keluarga sufisme Islam yang kuat, melihat tidak perlunya didirikan sebuah negara agama ataupun negara dengan landasan resminya adalah sebuah agama. Yang terpenting adalah substansinya yang harus diperjuangkan dalam kegiatan bernegara.[15]
Kritik lain yang datang mengenai konsep bernegara yang digagasnya, ia dikritik oleh Abdul Qadir Jaelani, Endang, dan Ismail Hasan[16] yang menganggapnya ingin menghapuskan nilai agama dalam kehidupan sosial dan politik, tapi tidak sedikit juga yang menentang pemikiran dan ide pembaharuannya.
Ide mengenai sekulerisasi ini masih menggema sampai dua puluh tahun kemudian. Hingga di tempat yang sama pada tanggal 21 Oktober 1992, ide ini semakin dipertegas dengan pernyataannya atas penolakan terhadap negara islam dan slogan ‘islam yes, partai islam no’ yang dikemukakannya dua puluh tahun sebelum itu. Ia mengemban misi untuk menjadikan Islam kembali sebagai agama yang universal, tidak eksklusif dan terikat pada sistem kepartaian dan organisasi. Nurcholish datang kembali dengan pernyataan-pernyataan yang lebih tajam dan lugas untuk memperkuat semua idenya yang lalu dan mengingat kondisi awal di orde baru yang penuh polemik. Tidak banyak yang berubah dari pemikiran Nurcholish dalam bernegara dari sebelum dan di awal orde baru Ia tetap menjunjung kebebasan berfikir, dan penolakannya terhadap pengkultusan partai-partai islam yang tidak visioner, cenderung takut pada masa depan, dan terkesan tidak menghargai sejarah, tidak percaya pada masa lalu islam yang pernah bangkit dari puing-puing sisa peradaban bangsa lain seperti Yunani dan Romawi.
Ide penolakan Negara Islam ini sudah muncul sehari setelah hari kemerdekaan, Nurcholish melihat dan kembali pada konsteks tersebut karena pada saat itu tengah terjadi polemik sendiir antar kalangan Islam yaitu Nasionalis muslim dan naionalis sekuler yang tengah merumuskan ideologi dan pedoman bangsa, Pancasila, UUD 1045, atau Piagam Jakarta. Dukungannya terhadap sekulerisme terlihat pada beberapa tulisannya. Salah satunya dengan menolak didirikannya Departemen Agama pada September 1945. Penolakan tersebut dikarenakan bahwa ia merasa didirikannya departemen ini hanya untuk menegaskan secara tersirat pada seluruh masyarakat Indonesia bahwa Islam adalah agama negara Republik ini.[17] Argumen lainnya adalah departemen ini dianggap mengarahkan konsep negara menjadi Pancasila, bertentangan dengan prinsip toleransi dalam beragama dan menjalin hubungan politik negara terkait antar agama yang ada. ia menginginkan departemen ini berubah nama menjadi Departemen Keagamaan karena berarti departemen menjadi milik bersama kepunyaan agama-agama yang diakui secara resmi di Indonesia, jika dibandingkan dengan departemen agama yang hanya mencerminkan satu agama yang diatur dan dakui. Ia sangat menekankan adanya toleransi antar umat demi keberagaman pemikiran yang kaya dan diharapkan umat muslim bisa menjadi lebih terbuka dalam menghadapi perbedaan dan lebih bijak dalam berfikir untuk menghindari kejumuddan.
4.      PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID MENGENAI LIBERALISASI
Nurcholish, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, mulai menjadi seorang tokoh pembaruan di Indonesia semenjak ia berceramah dengan kapasitasnya sebagai ketua HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) saat itu pada tanggal 3 Januari 1970 di sebuah acara halal bi halal di Jakarta. Bermodalkan bahan ceramah yang berasal dari makalahnya dengan judul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam Dan Masalah Integrasi Umat[18] di TIM (Taman Ismail Marzuki). Ia menuntut liberalisasi, sekularisasi, kebebasan intelektual, the idea of progress atau gagasan kemajuannya, dan ia juga menelurkan ide pentingnya adanya sebuah kelompok pembaharu yang berhaluan liberal dengan gagasan keterbukaannya.[19]
Pemikiran pokok dari Nurcholish yang utama adalah mengenai pembaruan. Termasuk didalamnya liberalisasi, yang mana proses tersebut dapat dicapai dengan sekulerisme yang  didukung dengan kebebasan dan keterbukaannya. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa pemikiran liberalisasi Nurcholish muncul setelah kepulangannya dari Amerika Serikat pada tahun 1969 selama lima pekan berada disana untuk sebuah acara. Salah satunya adalah pengamat dan tokoh HMI muda, Ahmad Wahib. Nurcholish yang begitu fundamental dan keras pada produk barat, menjadi lebih terbuka dan cenderung pro pada barat. Bahkan di tahun 1992, ia berceramah di TIM mengenai fundamentalis dan mengecamnya, menuturkan berbagai bahayanya, mengecam dan mengutuknya—terutama fundamentalisme Islam[20] —dan  berusaha membangun pandangan Islam yang dapat bertahan di masa modern ini.
Gagasan Liberalisasi yang diiringi gerakan pembaruan tersebut dilatarbelakangi pemikirannya bahwa kelompok pembaruan Islam yang sudah ada dirasa kurang bisa membuat suatu perubahan maupun pembaruan pada dunia Islam dan kegiatan bernegara. Ia mengganggap tiga organissasai Islam terbesar pada saat itu yaitu Muhammadiyah, Al-Irsya, dan Persis yang mengklaim dirinya sebagai organisasi pembaru, malah berhenti bergerak dalam pembaruan tanpa bisa membawa semangat “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan islam liberal yang ada sekarang”[21], atau dalam kata lain tidak bisa menangkap semangat dari ide pembaru seperti dinamika dan progresivitas. Liberalisasi adalah kebebasan untuk meninggalkan umat muslim di Indonesia yang stagnan dalam pergerakan, cenderung malas untuk berinovasi dan pasrah menerima keputusan yang dibuat oleh para petinggi agamanya, tidak berani berpendapat dan tidak berani berfikir bebas yang membuat umat muslim menjadi miskin dalam inovasi dan menelurkan ide-ide kebangsaannya dan berfikir dimanakah umat muslim harus menempatkan dan menyesuaikan dirinya sesuai dengan perubahan, Islam itu statis, sedang pemahamannya sosiologis dinamis.[22]
Islam dan Nurcholish telah menjadi satu kombinasi yang unik dalam prosesnya  melahirkan pembaruan. Islam sebagai bahan baku yang harus diolah dengan segala fenomenanya dan Nurcholish dengan akalnya menjadi sebuah perangkat alat yang mampu melihat masa depan umat islam dari kacamata seorang agamawan yang modern, berwawasan luas dan melihat secara utuh islam dari atas sampai bawah, dari luar dan dalam. Padanan yang dilengkapi dengan manual sosio-historis dari Nurcholish sendiri yang sarat dengan dunia Islam tradisional telah menjadikan pembaruannya pedoman bagi gerakan liberal islam sekarang ini. mereka, para kalangan muda ini adalah kaum yang bosan dengan kemunduran dan kemalasan kalangan Islam di Indonesia. Kalangan muda ini akhirnya membentuk sebuah gerakan, Islam yang membebaskan dengan bendera Jaringan Islma Liberal (JIL) berhasil menjadi sorotan masyarakat tanah air, dari awam sampai cendekiawan dan intelektualitas.
Mereka melihat pemikiran Nurcholish Madjid dengan julukan “Penarik Gerbong Kaum Pembaharu” oleh Majalah Tempo pada tahun 1970an sebagai manual utama untuk menggerakan perubahan yang berarti dengan caranya sendiri dengan tujuan untuk menghentikan gerakan Islam Fundamentalis dan Islam Militan yang dinilai mengancam akan keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Diskusi adalah sarana yang efektif untuk menyebarkan semangat mereka, didukung dengan tokoh-tokoh dari dalam JIL sendiri yang telah mendapat perhatian oleh kalangan luas dan tokoh luar dari JIL yang serta mendukung kebebasan Islam. Sebenarnya, pengharaman ide sekularisme, liberalisme, dan pluralisme oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tidak langsung ditujukan pada pikiran-pikiran JIL ini, dan secara tidak langsung keada siapa saja dan lembaga Islam manapun yang mengembangkan pemikiran-pemikiran ini dalam konteks teologi Islam.[23]
Pemikiran lain dari Nurcholish yang disetujui oleh JIL sendiri selain kebebasannya adalah bagaimana kelompok ini memandang modernisme. Modern adalah jika bersifat ilmiah, rasional dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam[24], dengan ilmu pengetahuanlah manusia dapat berfikir rasional dengan dibantu cara berfikir yang islami, berorietasi dengan nilai-nilai besar islam. Modernisasi janganlah dianggap sebagai ketakutan tetapi haruslah disambut sebagai seuatu hal yang pasti terjadi di kehidupan yang nyata, dan umat sebagai umat muslim dengan kitabnya yang tak lekang oleh zaman dan waktu haruslah tteap fleksibel dan menerima perubahan-perubahan dalam perilaku sosial masyarakat yang diprngaruhi oleh dunia barat itu, modernisasi berarti berpikir dan bekerja yang maksimal guna kebahagiaan umat manusia dengan cara mencapai rasionalisasi dalam menggapai ilmu pengetahuan.[25]
Buah dari pemikiran Nurcholish memang tidak hanya diadaptasi oleh JIL, tetai masih banyak lagi seperti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). The Wahid Indtitute, Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia *(LAKPESDAM) NU, Jaringan Intelektual Muda Muhamadiyyah (JIMM), lembaga-lembaga kajian dan pergerakan lainnya yang berbasiskan pembaruan, modernitas dan semangat pembebasan Nurcholish yang sangta terkenal itu dan sampai sekarang pun kelompok-kelompok itu masih bergerak atas nafas dan semangat positif demi membawa umat yang lebih baik lagi

5.      KESIMPULAN
Sebelum zaman Orde Baru, Nurcholish adalah seorang pemikir yang berani keluar dari pemikiran mainstream umat muslim lainnya dari banyak kawan segenarisnya yang sama-sama memiliki kesadaran bahwa umat muslim di Indonesia telah pada titik dimana tidak ada lagi kemajuan, stagnan dan terperangkam dalam kejumuddan. Pemikiran mengenai pembaharuannya yang membuahkan konsep sekularisasi dan libralisasinya banyak dipengaruhi oleh kegiatan keorganisasiannya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dimana Nurcholish sempat menjadi ketua umumnya untuk dua periode, berkat lingkungan keluarganya dimana kedua orangtuanya adalah orang NU yang taat, dan berkat petualangan intelektualnya di Benua Amerika sana untuk sekedar bertemu dengan para tokoh, kolega dan untuk menyelesaikan kuliah doktorlnya di Universitas Chicago dan menjadi doktor di bidang Ilmu Politik.
Liberalisasi dan Sekulerisasinya menjadi sorotan yan menarik kala sebelum Orde Baru karena pada saat itu belum ada yang seberani Nurcholish unuk mengungkapkan ide-ide itu. Ide-idenya di anggap gila dan tidak pantas untuk diutarakan dihadapan peserta seminar kala itu yang akhirnya dimuat di surat kabar nasional dan mulai menjadi buah bibir, pertanyaan muncul seperti apakah sekularisasi itu? Mengapa harus bebas? Siapakah Nurcholish Madjid itu?
Pro dan kontra datang pada Nurcholish dan kawan-kawannya yang mengusung ide pembaruan tersebut, ada yang mengecamnya sebagai penghianat agama tapi banyak juga yang memuji pikiran cemerlang dan kesadarannya itu terhadap keadaan bangsa saat itu. Sampai akhir hayatnya, Nurcholish berhasil membuat suatu lembaga yang bergerak di bidang pendidikan yaitu Universitas Paramadina. Selain pendidikan, Paramadina juga aktif dalam kegiatan penerbitan buku-buku yang berkualitas untuk suplemen pemikiran bangsa. Kembali ke pokok pemikiran Nurcholish mengenai konsep sekuler dan berfikirnya yang liberal, ia terkesan terlalu memaksakan idenya kepada masyarakat luas untuk menerima konsep ini. jika dilihat dari segi konteks pada saat itu, ide pembaruan itu memang sangat menggambarkan kondisi keterpurukan umat Islam di Indonesia, tapi yang kurang berkenan adalah cara dari Nurcholish yang mengagetkan dengan istilah-istilah yang belum dan tidak banyak orang yang paham sehingga menibulkan kegegeran massa secara domino effect. Istilah-isltilah dan padanan frasa seperti sekularisasi, desakralisasi, liberalisasi, modernitas, dan banyak lagi yang tidak biasa di dengar oleh masyarakat waktu itu di tahun 1970an.
Jika saja penyampaiannya bisa dikompromikan dulu dengan kawan-kawan sejawatnya di HMI yang memiliki pandangan sama dalam pembaruan dan menyusun strategi dalam penyebaran ide itum mungkin kecaman yang terus membombardir Nurcholish dan kawan-kawan sampai selama duapuluh tahun lebih akan sdikit berkurang. Pemikirannya tidak lekang dengan waktu dan ia aalh seorang pemikir yang konsisten mengenai ide pembaruannya sampai di akhir hayatnya. Dalam pidato dan ceramah-ceramahnya (kecuali pada ceramah jumat atau kagamannya—Nurcholish tidak pernah menyampaikan ceramah dengan substansi politis atau menyangkut dengan urusan negara karena ia berprinsip, alam ceramah seperti itu haruslah hanya hal yang menyangkut akidahlah yang disampaikan—) ia tetap berbicara tentang aufklarung di dunia Islam dan Indonesia meski beberapa istilah terlihat dihilangkan untk menciptakan keadaan yang damai.
Sebuah warisan pemikiran yang tetap terjaga yang telah diberikan oleh seorang Nurcholish Madjid pada bangsa dan generasi berikutnya yang harus dijaga dan tetap menyala demi Indonesia yang lebih baik, sebuah pemikiran dari kehidupan Nurcholish yang visioner di zamannya. Semangat kebebasan yang berlandaskan agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Bahan bacaan utama:
Efendi, Djohan Dan Ismed Natsir. Pergerakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES. 1981
Gaus, Ahmad. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. 2010
Husaini, Adian Dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, Dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani.2004
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina. 1995
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka. 2008
Bahan bacaan tambahan:
Assyaukanie, Luthfie. Islam and the Secular State. Pasir Panjang: ISEAS Publication. 2009
Geertz, Cliffort. The Religion of Java. London: The Free Press. 1976
Rachman, Budhy Munawar. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Jakarta: PT. Ikapi. 2010
Website:
“Revolusi Nurcholish Madjid” Oleh R. William Liddle http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/09/05/KL/mbm.20050905.KL116469.id.html







[1] Adian Husaini, M.A dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: sejarah, konsepsi, penyimpangan, dan jawabannya. Jakarta: Gema Insani. 2004. Hal 30.
[2] Ahmad Gaus. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup seorang visioner. Jakarta: Kompas. 2010. Hal.2
[3] Abangan adalah suatu konsep dari Clifford Geertz mengenai penganut agama Islam di Jawa dimana kaum abangan adalah mereka yang memeluk agama Islam di  pedesaan tapi tidak sempurna dalam menjalankan perintah agamanya. Lihat Cliffort Geertz. The Religion of Java. London: The Free Press. 1976
[4] Djohan Efendi Dan Ismed Natsir. Pergerakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES. 1981 hal 147
[5] Larso adalah seorang mantan ketua HMI Yogjakarta dengan pemikirannya yang sangat radikal dan memiliki peran penting dalam perkembangan HMI sendiri. Ia memiliki kedekatan intelektual dengan Nurcholish dan pemikiran-pemikirannya juga memiliki andil tersendiri terhadap liberalisasi Nurcholish.
[6] Djohan Efendi Dan Ismed Natsir. Op,cit. hal 82
[8]Husaini. Op,cit. Hal 56
[9] Uhrawi adalah mengenai akhirat: yg bersifat duniawi ataupun yg bersifat; memberi kebahagiaan duniawi –  menduniakan sesuatu. (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada 30 Desember 2011)
[10] Nurcholish Madjid. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka. 2008, hal 249
[11] Itjihad adalah  usaha sungguh-sungguh yg dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yg penyelesaiannya belum tertera dl Alquran dan sunnah (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada 30 Desember 2011)
[12] Nurcholish Madjid. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina. 1995. Hal 17
[13] Ibn Taymiyyah. Minhaj al-Sunnah fi Naqd Kalam al-Syiah wa al-Qaddariyyah, 4 volumes (Riad: Maktrabat al-Riyad al-Hadithah, tt), vol.1, 22-3 dalam ibid. hal 18
[14] Gaus. Op,cit. hal 147
[15] Madjid. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan. Op,cit. Hal 20
[16] Gaus. Op,cit. hal 109
[17] Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan. Op.cit. hal 6
[18] Husaini. Op,cit. hal 30
[19] Revolusi Nurcholish Madjid oleh R.William Liddle. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/09/05/KL/mbm.20050905.KL116469.id.html pada 17 November 2011
[20] Husaini. Op,cit. hal 32
[21] Gaus. Op,cit.  hal 99
[22] Djohan Efendi Dan Ismed Natsir. Op,cit. Hal 19
[23] Lihat “Fenomena JIL” dan “Fatwa MUI dan Gerakan Anti-JIL” dalam Syafiq Hasyim, Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme di Indonesia (Jakarta:ICIP, 2007), h. 35-42 yang dikutip dalam Budhy Munawar-Rachman. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Hal 27
[24]Madjid. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Op,cit.  hal 180
[25] Ibid. hal 182

Tidak ada komentar:

Posting Komentar